PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI RI NO. 30 TAHUN 2021 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI: PELEGALAN TERHADAP TINDAK PIDANA ASUSILA? (TELAAH KONSEPSI PERSETUJUAN DALAM KONTEKS HUKUM PIDANA) – Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup perguruan tinggi yang telah masuk pada ranah hukum dan menetapkan beberapa tersangka dari kalangan intelektual menjadi aib besar bagi dunia pendidikan di Indonesia dan merupakan bagian dari peniadaan nilai Pancasila yang luhur dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai wujud komitmen untuk menjadi masyarakat yang beradab, hal tersebut tentunya sudah menyimpang dari upaya mencetak generasi muda sebagai agen perubahan menuju kearah kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Ironi ketika perguruan tinggi diharapkan mencetak generasi bangsa yang memiliki nilai dan karakter Pancasila namun dirusak oleh oknum intelektual yang berada dalam lingkaran perguruan tinggi itu sendiri tentunya makin terkikis kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Berdasarkan sumber BBC News November 2021 menerangkan bahwa survei yang dilakukan pada tahun 2019 terkait pelecehan seksual di ruang publik, Koalisi Ruang Publik Aman menemukan lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), jalanan (33%) dan transportasi umum (19%). Siaran Pers Komnas Perempuan pada tanggal 29 Oktober 2021 menyebutkan bahwa 40 persen dari 304 mahasiswi pernah mengalami kekerasan seksual (Ardi dan Muis, 2014), 92% dari 162 Reponden mengalami kekerasan di dunia siber (BEM FISIP Universitas Mulawarman, 2021), 77% dosen menyatakan “kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus (Survei Ditjen Diktiristek, 2020). Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan. Berdasarkan data tersebut menunjukan perlunya regulasi yang tegas dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Sederet kasus kekerasan seksual yang dilansir oleh CNN Indonesia Oktober 2021 menerangkan pada tahun 2017 terjadi kasus pelecehan seksual mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang dilakukan oleh rekannya sendiri saat melakukan KKN di pulau Seram, Maluku. Januari 2020 Mahasiswa Universitas Padang melaporkan kasus kekerasan seksual kepada Polda Sumbar dengan terlapor adalah dosennya. Pada Agustus 2020 pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen berkecenderungan seksual bertukar pasangan alias swinger di Yogyakarta. Korbannya puluhan orang dengan modus penelitian, April 2021 Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencabulan terhadap keponakannya sendiri yang merupakan mahasiswa dari kampus tersebut, dan sampai pada tingkat rektor terjadi hal serupa, yakni rektor Universitas PGRI Argopuro Jember mengakui telah melakukan pelecehan seksual kepada dosen wanita di sebuah hotel pada saat diklat, dan terbaru kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Riau.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang ditetapkan pada tanggal 31 Agustus 2021 merupakan respon baik dari pemerintah untuk mencegah dan memberantas kekerasan seksual yang terjadi pada perguruan tinggi, kebijakan tersebut juga di apresiasi oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang memiliki kepentingan yang sama di lingkungan perguruan tinggi Islam di Indonesia, oleh sebab itu Kemenag akan mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk mendukung Permendikbud di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (Kompas, November 2021).
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan tujuan utama peraturan ini adalah memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Permendikbudristek PPKS dinilai detil dalam mengatur langkah-langkah yang penting di perguruan tinggi untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Di samping itu juga membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali kekerasan seksual yang menimpa civitas akademika. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Airlangga (Unair) Basuki Rekso Wibowo mendukung ditetapkannya Permendikbudristek ini, maka secara yuridis pihak perguruan tinggi dapat melakukan langkah-langkah legal menindak pelaku kekerasan seksual. Plt. Dirjen Nizam berharap kepastian hukum yang diberikan melalui Permendikbudristek ini akan memberikan kepercayaan diri bagi pimpinan perguruan tinggi untuk mengambil tindakan tegas bagi civitas akademika yang melakukan kekerasan seksual (Kemdikbud.go.id, November 2021).
Hadirnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi bukan tanpa kritikan yang konstruktif dan substantif, seperti politikus Partai Keadilan Sejahtera, Ledia Hanifa Amalia mengkritik Pasal 3 dinilai tidak mengandung norma agama, Pasal 5 ayat (2) kata “Persetujuan” dianggap diksi yang berbahaya untuk menggiring anak muda apabila dengan adanya persetujuan maka perilaku seksualitas bisa dibenarkan, selanjutnya kritik terhadap Pasal 7 dan 8. Bahwa kedua pasal ini belum dapat memberikan pencegahan dan perlindungan secara hukum, dan hanya fokus pada birokratisasi adminsitratif (Kompas, November 2021), senada dengan yang disampaikan oleh Rektor UNU Yogyakarta Prof. Purwo mengkritik pendefinisian kekerasan seksual pada Pasal 5 yang jadi acuan itu perasaan dipaksa dan tidak dipaksa, consent, persetujuan (Republika, November 2021), selanjutnya kritik dilontarkan oleh Dokter Eva yang meminta masyarakat agar bersama-sama menolak Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 untuk menyelamatkan nasib para generasi penerus bangsa, Dokter Eva menilai bahwa Pasal 5 ayat (2) melegalkan perzinaan atau seks bebas dilingkungan perguruan tinggi (Seputartangsel.com, November 2021), Wakil ketua Komisi X meminta agar Permendikbudristek tersebut dicabut, dia menyoroti frasa tanpa persetujuan korban dalam Pasal 5 ayat (2) (goriau.com, November 2021).
Dari kritikan yang dilontarkan di atas lebih terfokus pada persoalan frasa “persetujuan” dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, sehingga artikel ini akan berfokus pada bagaimana Konsep Persetujuan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek dalam konsepsi hukum pidana karena dalam Pasal 18 pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak menyampingkan pengenaan sanksi administratif lain dan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga bisa memberikan pandangan dalam konsep hukum pidana frasa persetujuan yang termaktub merupakan pelegalan atas perzinaan di lingkungan perguruan tinggi atau penghargan atas harkat dan martabat bagi perempuan. Pasal yang dianggap kontroversial karena terdapat frasa “persetujuan” Pasal 5 ayat (2) huruf b berbunyi “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban”, huruf f “mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban”, huruf g berbunyi “mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban”, huruf h berbunyi “menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban” huruf l berbunyi “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban” huruf m berbunyi “membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban”.
Mengutip pendapat Sri Kurnianingsih yang mengambil dari pendapat Farley (1978) dalam artikel Sri Kurnianingsih yang berjudul “Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di Tempat Kerja” mendefinisikan pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya, di mana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah.
Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai “imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments”. Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual (hukumonline.com, Mei 2011).
Definisi Persetujuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1 pernyataan setuju (atau pernyataan menyetujui); pembenaran (pengesahan, perkenan, dan sebagainya): pengeluaran uang dilakukan dengan ~ kepala jawatan; untuk menentukan besar dana sukarela yang akan diminta dari setiap murid, kepala sekolah harus meminta ~ orang tua murid; 2 kata sepakat (antara kedua belah pihak); sesuatu (perjanjian dan sebagainya) yang telah disetujui oleh kedua belah pihak dan sebagainya: mereka tetap menentang ~ perdamaian itu; 3 persesuaian; kecocokan; keselarasan: ~ antara batin dan lahir.
Mengutip pendapat Sri Wiyanti Eddyono dalam akun media sosial pribadinya yang dipublikasikan pada tanggal 9 November 2021 menerangkan konsepsi “ijin” (Persetujuan) bukan konsepsi yang asing dalam hukum pidana, penulis sepakat dengan pendapat tersebut seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian” kecuali mendapatkan ijin dari pemiliknya, Pasal 263 KUHP “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat”, kecuali mendapat ijin dari orang yang memiliki hak atas dokumen tersebut. Pasal 238 “Barang siapa tanpa persetujuan Presiden mengajak masuk seorang menjadi tentara negara asing, diancam dengan pidana penjara” kecuali mendapat persetujuan dari presiden, seperti halnya konsepsi persetujuan dalam dunia kedokteran yang sering dikenal dengan istilah Informed Consent. Mengutip Ardityo Purdianto Kristiawan dalam artikel yang berjudul “Kedudukan Hukum Informed Consent dalam Pemenuhan Hak Pasien Dirumah Sakit”. Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara rinci mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 45 Undang Undang No. 29 Tahun 2004, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290 /Menkes/Per/III/2008 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2008.
Menurut penulis, konsepsi Persetujuan dalam hukum pidana merupakan proteksi atas perilaku yang tidak di kehendaki “unwelcome attantion” dan memberikan hak absolut kepada setiap individu sebagai warga negara yang merdeka tanpa memandang gender dan SARA dan memiliki kesamaan hak di muka hukum. Oleh sebab itu persetujuan yang dimaksud dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pun dalam rangka meningkatkan kesetaraan gender dan pemenuhan hak serta melindungi individu yang berstatus mahasiswa dan seluruh tenaga pendidik dan kependidikan di lingkup perguruan tinggi yang mengalami kekerasan seksual dilindungi serta memiliki jaminan dan kepastian hukum melalui Permendikbudristek a quo. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah percepatan sosialisasi dan implementasi instrumen teknis yang perlu dibangun di setiap perguruan tinggi secara komperhensif dan dapat segera memberikan pemenuhan hak bagi civitas akademika untuk mendapatkan lingkungan pendidikan yang aman dan proses pendidikan secara optimal.
Tinggalkan Balasan