Fidusia Leasing Dapat Mengambil Objek Tanpa Putusan Pengadilan?
5 min readFidusia Leasing Dapat Mengambil Objek Tanpa Putusan Pengadilan? – Menilik perbandingan putusan MK NOMOR 18/PUU-XVII/2019 dengan putusan MK NOMOR 2/PUU-XIX/2021 tentang fidusia leasing dapat mengambil objek tanpa putusan pengadilan yang masih kontroversial?
Prinsip proporsional dan asas keseimbangan dalam perjanjian pada prakteknya sering disimpangi hingga mengabaikan hak-hak debitur. Kreditur seolah memanfaatkan kondisi debitur yang dalam posisi membutuhkan objek fidusia. Debitur faktanya sering mendapatkan perlakuan tidak adil. Sejak awal penandatanganan perjanjian fidusia debitur disodorkan surat-surat yang tidak dipahami, hingga penyerahan buku hak objek fidusia debitur sering dibebani biaya yang tidak diperjanjikan sebelumnya.
ketika debitur berhalangan membayar cicilan utang, kreditur melalui tangan pihak ketiga atau debt collector melakukan tarik paksa objek fidusia bahkan tidak jarang menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan. Kemudian setelah objek fidusia berada dalam kekuasaan kreditur, debitur dipaksa membayar lunas utangnya, dan jika tidak dilunasi maka kreditur melelang objek fidusia secara sepihak. Tindakan kreditur sepanjang ini dikarenakan sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial seperti halnya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF).
Konstitusionalitas kedua pasal di atas telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan uji materil. Atas permohonan itu, MK telah menerbitkan Putusan Nomor 18/PUU-XII/2019. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJF bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Pemohon mempersoalkan frasa “kekuatan eksekutorial” dan “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” di dalam Pasal 15 ayat (2) UUJF, juga mempersoalkan frasa “debitur cidera janji” dan “Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri” di dalam Pasal 15 ayat (3) UUJF.
Frasa “kekuatan eksekutorial” berarti bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekusi sama seperti putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau pasti (inkracht van gewijsde). Hal ini menunjukan bahwa pasal itu lebih berpihak kepada kreditur atau lembaga pembiayaan yang notabene adalah pemilik modal. Karena lebih memberikan kepastian hukum bagi penerima fidusia (kreditur) daripada pemberi fidusia (debitur) dengan jalan kreditur dapat melakukan eksekusi objek fidusia secara serta merta, sesuai maksud Pasal 15 ayat (2) UUJF.
Berkaitan dengan frasa “debitur cidera janji” (wanprestasi) menurut pemohon menimbulkan persoalan tentang metode menentukan kapan debitur telah “cidera janji,” sepanjang ini ditentukan kreditur secara sepihak, tanpa mekanisme dan prosedur penilaian yang jelas dalam melihat tindakan debitur yang dinilai “cidera janji” itu. Pemberi fidusia (debitur) tidak diberikan mekanisme hukum yang setara untuk menguji kebenarannya. Setelah ditentukan sepihak oleh kreditur bahwa debitur “cidera janji” maka kreditur dapat melakukan eksekusi objek jaminan fidusia dengan cara mengambil alih dan kemudian menjual objek jaminan fidusia sendiri, sesuai isi Pasal 15 ayat (3) UUJF.
Terdapat kekurangan dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJF dimana tidak menjelaskan prosedur eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia, dan tidak mengatur mekanisme menentukan “debitur cidera janji”. Sehingga menimbulkan pengertian pasal itu memberikan legitimasi kepada kreditur untuk melakukan eksekusi secara serta merta tanpa prosedur hukum yang benar dan menimbulkan kesewenang-wenangan dari penerima jaminan fidusia. Seharusnya, ketika mempersamakan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) diikuti aturan tentang prosedur dan tata cara eksekusi. Dengan tidak adanya aturan itu maka berimplikasi kepada pengabaian asas kepastian hukum (legal certainty) dan asas keadilan hukum (legal justice) serta mengabaikan perlindungan terhadap hak milik pribadi pemberi fidusia, karena lebih cenderung melindungi Penerima Fidusia daripada melindungi kepentingan debitur (pemberi fidusia).
Atas permohonan pemohon, MK menyatakan norma Pasal 15 ayat (2) UUJF, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UUJF khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.
Adapun yang membedakan Perkara Nomor 18/PUU-XVII/2019 dengan perkara Nomor 2/PUU-XIX/2021, antaranya :
- Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/ 2019 terkait Undang-Undang Jaminan Fidusia, membuat sebagian perusahaan pembiayaan (leasing/kreditur) resah karena tidak boleh lagi melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi) terhadap barang/asset/jaminan fidusia. Di lain pihak, seolah-olah konsumen pembiayaan (Lesse/ Debitur) “dimenangkan” karena dalam kondisi tertentu “menganggap” dapat memper-tahankan barang yang dikuasainya dari tindakan eksekusi langsung oleh kreditur.
- Lahirnya Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XIX/2021 menegaskan, eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui Pengadilan Negeri hanya alternatif, apabila tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur, baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur.
- Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia.
- Secara spesifik amar Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 merugikan hak konstitusional kolektor internal di bidang penagihan. Kondisi ini sebagai dampak dari berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, yaitu diantaranya hak untuk mendapat perlindungan hukum dan penghidupan yang layak. Dari itu, terlihat adanya hubungan kausal antara anggapan Pemohon tentang kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Undang-undang yang dimohonkan pengujian, sehingga jika permohonan dikabulkan, kerugian demikian tidak lagi terjadi.
- Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia terdapat masalah persoalan inkonstitusional karena tidak ada kepastian hukum, berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu, kapan pemberi fidusia (debitur) di-nyatakan “cidera janji” atau wanprestasi serta hilangnya kesempatan debitur untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.
- Tidak adanya proporsionalitas secara konstitusional bagi pihak
terdampak jika dinilai melalui proportionality test. Tes ini sebagai dampak dari adanya sebagian perusahaan leasing yang menyewa kolektor tidak bersertifikasi (preman). - Amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/ 2019 tidak memberikan terobosan hukum yang secara fundamental merubah prinsip atau asas jaminan fidusia, Dalam amar putusan ini, MK hanya merumuskan solusi praktek terkait pelaksanaan eksekusi, ketika jaminan fidusia tidak secara jelas menyepakati cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan barang jaminan secara sukarela.
- Memberikan ruang bagi terjadinya kejahatan karena memberi celah bagi debitur untuk mengulur waktu melarikan barang, sehingga bertentangan dengan prinsip Negara Hukum. Namun, secara formal permohonan a quo berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/ PUU-XIX/2021 beralasan untuk dapat diajukan kembali.
Mengacu pada beberapa perbandingan amar putusan diatas, antara Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 yang menjadi penjelasan pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia atas Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang sempat menimbulkan adanya perdebatan akibat multitafsir. Makna “sukarela saat eksekusi” dalam Pasal 15 ayat (2) dan
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, bertentangan dengan prinsip negara hukum yang harusnya menjamin aturan yang mencegah terjadinya potensi kejahatan. Apabila debitur beritikad baik, debitur harus minta restrukturisasi bukannya justru tidak sukarela menyerahkan barangnya.