JUAL BELI KOSMETIK SHARE IN BOTTLE TIDAK BISA SEMBARANGAN
3 min readBanyak pelaku usaha yang berinovasi dari konsumen terhadap produk yang sedang dibutuhkan, salah satunya adalah parfum. Parfum atau minyak wangi merupakan salah satu bentuk produk kosmetik yang menjadi bagian penunjang rasa percaya diri seseorang, sehingga menurut sebagian konsumen merasa perlu untuk membeli parfum. Sebagian besar para konsumen yang ingin membeli parfum secara online terkadang ingin memastikan kecocokan aroma atau wangi parfum yang sesuai dengan keinginannya sebelum membeli parfum dengan kemasan asli.
Saat ini sudah banyak beredar pelaku usaha yang menjual produk kosmetik dengan sistem share in bottle. Pada dasarnya jual beli dengan cara share in bottle merupakan kegiatan mengemas kembali dan termasuk dalam proses produksi, kegiatan tersebut harus memiliki surat keterangan atau sertifikat Cara Pembuatan Kosmetik yang Benar (CPKB) untuk melakukan usaha.
Beredarnya produk kosmetik dalam memenuhi kebutuhan pasar adalah ladang bisnis bagi beberapa pelaku usaha, baik kosmetik yang memiliki izin edar dari pemerintah maupun tidak. Dalam melakukan pengendalian produksi dan peredaran kosmetika yang aman, bermutu, dan bermanfaat maka pemerintah harus memberi jaminan dan perlindungan kepada masyarakat atas kualitas kosmetika yang meliputi pembentukan peraturan perundang-undangan, serta perizinan, dan penegakan hukum. Seperti tujuan dalam Peraturan BPOM nomor 2 tahun 2020 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika yang berbunyi:
“Bahwa untuk melindungi masyarakat dari kosmetika yang tidak sesuai standar dan/atau persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu kosmetika, perlu dilakukan pengawasan kegiatan produksi dan peredaran kosmetika.”
Sedangkan yang dimaksud dengan kosmetik berdasarkan Peraturan BPOM nomor 2 tahun 2020 pasal 1 ayat (1), kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia seperti epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar atau gigi dan membran mukosa mulut, terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan, dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
Untuk melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang merugian akibat pemakaian suatu produk kosmetik yang tidak memenuhi syarat mutu dan keamanan, maka perlu adanya pencegahan peredaran kosmetik yang tidak memenuhi syarat terhadap mutu dan keamanan. Langkah awal dalam menjamin mutu dan keamanan kosmetik adalah dengan menerapkan CPKB. Dalam pasal 1 ayat (2) Peraturan BPOM nomor 2 tahun 2020, disebutkan bahwa CPKB adalah seluruh aspek kegiatan pembuatan kosmetika yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
Dalam Peraturan BPOM nomor 2 tahun 2020 belum mengatur tentang adanya sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar peraturan tersebut, sehingga jika terjadi suatu pelanggaran dapat dikaitkan dengan Undang[1]Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK tidak membatasi sengketa konsumen. Pengertian sengketa konsumen dapat dipahami dalam Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan melalui Keputusan Nomor 350 / MPP / Kep / 12/2001, yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah antara pelaku usaha dan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.
Ketentuan-ketentuan mengenai sanksi dalam menurut UUPK pasal 45 ayat 1 bahwa, setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Berkaitan dengan sanksi pidana, menurut pasal 62 maka seorang pelaku usaha dapat dikenakan pidana berupa penjara maupun pidana denda. “Pelaku usaha dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), ketika mereka melanggar ketentuan pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 UUPK. Dan pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16, dan pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” (Tim Na/Ty)