SP3 NOODWEER EXCESS DALAM KASUS BEGAL
5 min readSP3 NOODWEER EXCESS DALAM KASUS BEGAL – Aksi begal di beberapa tahun terakhir menghantui tanah air dan meresahkan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, Modus Operandi pencurian, perampokan dan perampasan di tengah jalan dengan menggunakan kekerasan sering disebut dengan begal oleh masyarakat umum. Faktanya aksi begal tersebut justru mendapat perlawanan oleh korban yang mana pelaku begal tersebut luka sampai pada meninggal dunia, beberapa korban dijadikan tersangka dalam kasus begal karena melakukan pembelaan atau pertahanan sampai pelaku meninggal dunia seperti seperti Raju warga Pekanbaru, Riau. Kemudian Dedi Irwanto pria asal Medan, kemudian remaja di malang yang masih berumur 19 tahun ditetapkan sebagai tersangka (Nurhadi, nasional.tempo.co, 2022), akan tetapi ada beberapa korban yang dijadikan sebagai tersangka kemudian dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) seperti yang dilakukan oleh Polda NTB (Eko, nasional.tempo.co, 2022). Alasan penerbitan SP3 tersebut dikarenakan adanya desakan dan menarik perhatian publik. Oleh sebab itu disini penulis ingin melihat apakah kepolisian RI berhak melakukan SP3 atas korban sekaligus pelaku pembunuhan dalam kasus begal, sedangkan korban yang kemudian menjadi pelaku baik locus, tempus dan delict melakukan tindak pidana dengan bukti adanya korban meninggal dunia.
Korban yang menjadi pelaku pembunuhan mendapatkan pembelaan publik bahwa korban sekaligus pelaku terpaksa melakukan perlawanan sehingga disebut sebagai noodweer excess dalam istilah hukum. Mengutip tulisan Putri dengan mengambil pendapat Van Bemmelen tentang noodweer exces yakni pelampauan batas pembelaan terpaksa yang disebabkan oleh suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam, dengan adanya pembelaan terpaksa tersebut maka unsur pertanggungjaawaban pidana terhapus. Menurut Hoge Raad seseorang tidak dapat dihukum yaitu dalam hal melampaui batas yang diizinkan untuk melakukan suatu pembelaan telah dilakukan terhadap suatu serangan yang melawan hukum yang telah terjadi (Dwi Putri Nofrela, 2016)
Tindak pidana pembelaan terpaksa (Noodweer Excess) dalam hukum pidana Indonesia merupakan perbuatan dalam konteks keadaan terpaksa (Noodweer) dalam upaya perlindungan diri dari tindak pidana pembegalan harus sesuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Batasan ruang lingkup berlakunya pasal ini, untuk mengetahui hal tersebut maka kita berpedoman pada unsur-unsur noodweer dan noodweer exces, Andi Hamzah berpendapat dan menyatakan pembelaan terpaksa harus terdapat unsur yaitu harus membela harta benda sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, yang dibela adalah diri sendiri atau orang lain, terdapat serangan yang mengancam sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu dan serangan itu melawan hukum (Hamzah, 1994). Noodweer adalah kata digunakan untuk menggambarkan pembelaan yang perlu dilakukan terhadap ancaman serangan yang bersifat langsung dan melawan hukum, noodweer sebagai dasar pembenaran bukanlah sesuatu hal yang baru dikenal pada hukum pidana, karena pembelaan telah sudah ada sejak lama dikenal masyarakat, yaitu dikenal saat zaman balas dendam pribadi atau perorangan dahulu kala, berupa perbuatan perang yang memiliki sifat defensif pada sejarah dalam berkembangnya hukum pidana, masih dipertahankan masyarakat hingga saat ini (Lamintang, 1984).
Melihat pada penejelasan diatas bahwa pembelaan terpaksa bisa dilakukan oleh korban dengan adanya syarat terguncangnya jiwa dan batin, adanya tindakan melawan hukum, adanya harta benda atau dirinya atau orang lain untuk dilindungi, hal tersebut harus dilihat secara cermat pada tahap penyelidikan, namun pada faktanya seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa adanya penghentian penyidikan atas korban sekaligus pelaku pembunuhan terhadap begal, secara definisi memang tidak disebutkan secara detail apakah korban begal melakukan pembelaan terpaksa dengan alat-alat yang sudah disiapkan atau biasa dibawa atau memang alat-alat yang dilakukan untuk melakukan pembelaan ada disekitar kejadian. Dengan demikian tentu perlu menjadi bahan bagi pihak kepolisian untuk tidak terburu melakukan pengehentian penyelidikan dan dilihat secara secara cermat.
Syarat ditetapkannya seseorang menjadi tersangka di KUHAP tertuang dalam Pasal 184 ayat 1 minimal terdapat 2 alat bukti diantaranya adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, ketika melihat pada definisi alat bukti menurut Prof. Andi Hamzah adalah Alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan disidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan termasuk persangkaan dan sumpah (www.pn-jantho.go.id, 2022), dari definisi alat bukti tersebut sudah sangat jelas bahwa ketika sesorang ditetapkan sebagai tersangka dengan minimal adanya 2 alat bukti yang diperuntukan dalam proses persidangan untuk membuktikan dalil-dalil dalam dakwaan.
Sebelum menjelasakan lebih jauh perlu juga untuk melihat pengentian penyidikan atau SP3 yang dipakai kepolisian dalam penanganan sebuah perkara pidana. Persoalan SP3 sudah termuat di Pasal 109 ayat 2 KUHAP bahwa “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntu umum, tersangka atau keluarganya”. Penulis melihat bahwa adanya norma hukum yang mana kepolisian dapat menghentikan penyidikan atau mengeluarkan SP3 dengan tiga kondisi yaitu, 1). tidak terdapat cukup bukti, 2). peristiwa bukan merupakan tindak pidana, dan 3). demi hukum.
Merujuk pada kasus yang ada bahwa korban melakukan pembelaan terpaksa yang kemudian melakukan perlawanan kepada pelaku begal yang akhirnya pelaku begal tersebut meninggal dunia, melihat pada kondisi tersebut tentunya syarat SP3 tidak terpenuhi yaitu adanya fakta bahwa pelaku begal yang akhirnya meninggal dunia dan adanya tindak pidana dilihat dari locus tempus delicti sehingga penegak hukum harus bekerja dalam hal penegakan hukum pidana. Sedangkan bila dikeluarkannya SP3 karena alasan demi hukum perlu diketahui bahwa alasan demi hukum lebih rasional dibandingkan dengan dua alasan di atas. Hal ini disebabkan sudah masuk pada alasan yang lebih substansi juridis formil. Dalam banyak doktrin dan putusan pengadilan, alasan demi hukum terbitnya SP3 didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu (1) nebis in idem (2) tersangka meninggal dunia (3) daluarsa (Ahmad Sofian, 2021).
Dipenghujung penulisan ini penulis memberikan kesimpulan bahwa ketika seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka yang mana minimal 2 alat bukti yang sah tersebut dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil dakwaan di muka persidangan, kemudian Penerbitan SP3 memiliki syarat yang jelas hal ikhwal pengehentian penyidikan tidak bisa dilakukan bagi korban sekaligus pelaku pembunuhan terhadap begal karena fakta yang terjadi adanya tindak pidana yaitu adanya korban yang meninggal akibat pembunuhan yang di atur KUHP dan itu merupakan tindak pidana, maupun demi hukum yang secara rasional berkaitan dengan nebis in idem, tersangka meninggal dunia dan daluarsa, sehingga noodweer excess atau pembelaan terpaksa tersebut bukan menjadi wewenang atau ranah penyidik kepolisian untuk melakukan penilaian apakah korban sekaligus pelaku pembunuhan terhadap begal tersebut terbebas dari jerat pidana atau di bebaskan dari segala tuntutan karena penilaian tersebut merupakan kewenangan hakim di persidangan sehingga tidaklah tepat ketika kepolisian mengeluarkan SP3 kepada seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka meskipun sebagai korban sekaligus pelaku tindak pidana pembunuhan.