INKONSISTENSI REGULASI INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH DEFORESTASI PASCA REZIM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
5 min readINKONSISTENSI REGULASI INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH DEFORESTASI PASCA REZIM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA – Lingkungan adalah isu krusial yang selalu diagungkan negara-negara di dunia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya konferensi tingkat tinggi yang membahas bagaimana upaya pelestarian lingkungan demi mencegah perubahan iklim global. Salah satu perjanjian yang menjadi poin penting dalam perkembangan pelestarian lingkungan adalah Paris Agreement. Paris Agreement atau Persetujuan Paris dilaksanakan pada tahun 2015 yang membahas pengaruh perubahan iklim global demi melahirkan komitmen bersama negara peserta untuk mengurangi emisi karbon. Sebagai negara yang menyetujui perjanjian tersebut, komitmen Indonesia dibuktikan dengan diratifikasinya Paris Agreement menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim.
Perjanjian Internasional adalah bentuk pengejawantahan asas pacta sunt servanda yang perlu dimaknai secara komprehensif. Kesepakatan dalam perjanjian internasional akan mengikat sebagai hukum bagi negara-negara yang menyepakatinya. Komitmen ini dapat diperkuat dengan diratifikasinya suatu perjanjian internasional menjadi peraturan perundang-undangan suatu negara. Hal ini dilakukan agar komitmen negara-negara peserta perjanjian mengikat secara hukum baik di level internasional maupun dalam tataran nasional. Berbagai instrumen hukum internasional tentang lingkungan hidup menjadi legitimasi bahwa mayoritas negara di dunia sepakat untuk menjaga lingkungan. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi perwakilan negara-negara di dunia menjadi garda terdepan dalam menyelenggarakan konferensi khusus untuk membahas permasalahan lingkungan dan pencegahannya melalui United Nations Conference on Human Environment (UNCHE) di Stockholm (Deklarasi Stockholm, Swedia pada 5 Juni 1972 yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Lingkungan Internasional (World Environmental Day).
Salah satu permasalahan lingkungan yang menjadi poin krusial dalam Deklarasi Stockholm adalah permasalahan ekosistem hutan. Hutan adalah salah satu ekosistem terbesar yang menjadi poin penting dalam pelestarian lingkungan hidup yang perlu dijaga kelestariannya. Hutan yang menjadi pemasok oksigen alami seakan menjadi habitat dasar semua makhluk hidup di bumi. Urgensi pelestarian hutan menjadi sesuatu yang hangat dibicarakan khalayak dikarenakan banyaknya praktek deforestasi yang kian marak terjadi. Deforestasi dapat diartikan sebagai suatu peristiwa hilangnya hutan alam beserta dengan atributnya yang diakibatkan oleh penebangan hutan secara masif.
Indonesia adalah salah satu negara dengan kawasan hutan terluas di dunia. Sudah menjadi konsekuensi logis bagi Indonesia dalam hal ini untuk menjaga kelestarian hutan yang merupakan komoditas terbesar di negaranya. Konstitusi Indonesia telah mencantumkan bahwasanya pengelolaan lingkungan hidup diperuntukan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Secara nomenklatur, hal ini diakomodir melalui Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945. Penguasaan negara terhadap kekayaan alam merupakan politik hukum nasional yang diperuntukkan agar pengelolaan kekayaan alam dapat dimaksimalkan dan perlindungan lindungan yang merupakan implikasi dari pengelolaan kekayaan alam tersebut dapat dilindungi dan diakomodir oleh negara. Pengelolaan kekayaan alam yang menjadi fokus konstitusi Indonesia merupakan implikasi dari asas kedaulatan rakyat yang dianut oleh Indonesia. Pasal 28H ayat (1) UUD RI 1945 mengakomodir hak dasar masyarakat Indonesia untuk mendapatkan lingkungan yang layak. Beberapa pasal di dalam konstitusi tersebut menjadi bukti pengimplementasian nuansa konstitusi hijau (green constitution) yang dianut oleh bangsa Indonesia (Jimly Asshiddiqie, 2016).
Konstitusi hijau merupakan wacana yang dikembangkan pada awal abad ke-21. Wacana ini berkembang sejalan dengan makin lambatnya respon negara-negara konstitusional dalam melindungi serta memelihara lingkungan hidup. Negara-negara konstitusional seakan telah mencanangkan regulasi lingkungan namun secara pengimplementasian sangat bertolak belakang dengan politik hukum dari regulasi yang diterbitkan. Wacana ini pun mendapatkan perhatian yang cukup masif dari masing-masing negara konstitusional khususnya Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang telah menuangkan nuansa hijau ke dalam konstitusinya secara pengimplementasian dalam melindungi hutan yang merupakan komoditas utama tercermin di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang selanjutnya disebut Undang-Undang Kehutanan. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Kehutanan membagi hutan menurut fungsinya menjadi; hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Pembagian hutan ini ditujukan sebagai penegasan bahwasanya ada beberapa hutan yang diklasifikasikan oleh Undang-Undang. Hal ini bertujuan agar pengelolaan kekayaan alam yang diakomodir oleh Undang-Undang Dasar tidak tereduksi dengan memperhatikan pengelolaan dan pelestarian lingkungan.
Inkonsistensi Komitmen Indonesia dalam Rangka Menangani Deforestasi
Namun, dewasa ini komitmen pemerintah Indonesia seakan dipertanyakan berkaitan dengan perlindungan lingkungan. Terdapat beberapa ambiguitas regulasi yang justru mengarah kepada pereduksian norma pengelolaan lingkungan. Problematika ini muncul pasca rezim Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang selanjutnya disebut UUCK. Di dalam ketentuan UUCK terdapat penghapusan pasal yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Kehutanan secara spesifik dalam Pasal 18 ayat (2) mengenai kewajiban pemerintah dalam menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan dengan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau dengan penyebaran yang proposional. Ketentuan ini dihapus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang merupakan aturan turunan dari UUCK.
Akibat diberlakukannya kebijakan tersebut, sudah menjadi suatu konsekuensi logis potensi terjadinya deforestasi karena ketidakpastian hukum yang tercermin di dalam regulasi Indonesia. Pengaburan batas minimal kawasan hutan berimplikasi kepada semakin mudahnya pemberian izin terhadap pengalihfungsian hutan menjadi daerah ekowisata, industri, investasi, serta korporasi. Pemerintah seakan tidak lagi mempunyai pegangan dalam mempertahankan persentase hutan di setiap daerah. Hal ini membuktikan bahwa batas minimal hutan di setiap daerah perlu diakomodir dengan tujuan pelestarian lingkungan.
Penghilangan terhadap batas minimal daerah hutan menjadi bukti terjadinya inkonsistensi Indonesia dalam menurunkan angka deforestasi. Mengutip data dari Greenpeace Indonesia dalam “Perdagangan Karbon adalah Solusi Palsu Mengatasi Krisis Iklim”, disebutkan bahwasanya pemerintah telah mengklaim angka deforestasi nasional menurun sejak 2 (dua) tahun terakhir. Klaim ini seakan tidak relevan dikarenakan pergeseran area yang terdampak deforestasi telah bergeser dari barat ke timur wilayah Indonesia. Deforestasi terjadi secara besar-besaran di beberapa wilayah hutan Indonesia, sementara penurunan angka deforestasi secara ironi justru bukan dikarenakan upaya pemerintah melainkan habisnya sumber daya hutan.
Urgensi perlindungan hutan bukanlah wacana yang bisa dikesampingkan. Perlindungan hutan berimplikasi krusial dalam mengatur iklim bumi melalui siklus karbon. Karbon dari atmosfer diserap oleh tumbuhan seiring dengan pertumbuhannya, dilanjutkan dengan mekanisme penyimpanan karbon di dalam dedaunan, jaringan kayu, serta materi organis di dalam tanah. Oleh karena itu diperlukan regulasi tegas agar perlindungan hutan dapat tercipta.
Pemaparan yang telah penulis jabarkan ditujukan sebagai kritikan kepada pemerintah untuk memaparkan urgensi adanya regulasi yang jelas terhadap pelestarian hutan di Indonesia. Secara normatif Indonesia telah menggambarkan nuansa hijau di dalam konstitusinya. Sebagai negara konstitusional, Indonesia bertanggung jawab dalam merealisasikan hal ini di dalam peraturan perundang-undangan serta tindakan konkrit pemerintah itu sendiri. Namun di dalam tataran yuridis, terdapat inkonsistensi serta keambiguitasan yang tercermin dari pemerintah dalam rangka meningkatkan pelestarian hutan. Politik hukum yang tercermin dewasa ini justru adalah liberalisasi industri tanpa memperhatikan dampak lingkungan,
Oleh karena itu diperlukan penegasan regulasi terhadap pelestarian lingkungan, khususnya berkaitan dengan batas minimal kawasan hutan di setiap daerah di Indonesia agar penurunan deforestasi bukanlah klaim semata tanpa adanya bukti nyata. Keambiguan yang terjadi dalam tataran regulasi harus segera diatasi demi menciptakan keharmonisan tataran konstitusional, yuridis, serta empiris yang implikasinya diperuntukan demi melindungi hutan Indonesia.