Nasib UU Cipta Kerja Pasca Perubahan UU PPP

Nasib UU Cipta Kerja Pasca Perubahan UU PPP –  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kembali mengalami perubahan untuk kedua kali. Pertama, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kedua, kemudian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Perubahan kedua UU PPP disahkan oleh Presiden Joko Widodo di Jakarta pada tanggal 16 Juni 2022. Adanya perubahan kedua dalam UU PPP menarik untuk dikaji. Karena salah satu yang melatarbelakangi perubahan UU PPP adalah perlunya pengaturan mengenai metode omnibus dalam Pembentukan Peraturan Perudang-undangan.

Sebelum ada perubahan kedua UU PPP, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membentuk Undang-Undang menggunakan metode omnibus yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Sayangnya, UU Cipta Kerja yang belum lama diundangkan diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK dalam putusannya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja harus diperbaiki dalam pembentukannya. Pemerintah dan DPR akhirnya bergerak cepat dengan melakukan perubahan terhadap UU PPP. Pertanyaannya adalah apakah perubahan kedua UU PPP sebagai legalitas terhadap pemberlakuan UU Cipta Kerja?

Kembali ke belakang, bahwa UU Cipta Kerja sampai dengan saat ini masih dianggap inkonstitusional bersyarat. Artinya UU Cipta Kerja tetap berlaku. Pemberlakuan tersebut sepanjang dilakukan perbaikan selama dua tahun. Apabila tidak dilakukan perbaikan selama dua tahun, UU Cipta Kerja dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Itu merupakan beberapa bagian dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan tersebut diucapkan hari Kamis tanggal 25 November 2021 pada sidang pleno MK yang terbuka untuk umum. Artinya putusan tersebut langsung berlaku setelah diucapkan dengan sifat final dan mengikat. Semua pihak harus menghormati, mematuhi, dan melaksanakan putusan tersebut. MK melalui putusannya, menganggap pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Anggapan MK tersebut setelah dilakukan uji formil UU Cipta Kerja terhadap UUD 1945.

Kita ketahui bersama bahwa judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan, tidak hanya uji materil saja melainkan juga ada uji formil. Uji materil dan uji formil mempunyai batu uji sebagai pijakan. Yusril Ihza Mahendra (2020) pernah menyatakan bahwa pengujian Undang-Undang itu terdapat dua batu uji. Pertama, pengujian Undang-Undang secara materil (uji materil) yang batu ujinya adalah UUD 1945. Kedua, pengujian Undang-Undang secara formil (uji formil) dengan batu ujinya adalah Undang-Undang yang diamanatkan oleh UUD 1945 untuk mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam UUD 1945 Pasal 22A yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-Undang diatur dengan Undang-Undang”. Artinya, UU PPP merupakan Undang-Undang yang diamanatkan oleh UUD 1945 sebagai batu uji formil.

Adanya pengujian peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan agar tidak terjadi disharmoni atau saling bertabrakan. Pengujian tersebut tidak akan bisa terjadi apabila tidak ada jenjang peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu maka perlu ada jenjang atau tingkatan dalam peraturan perundang-undangan. Hans Kelsen (1949) dalam bukunya General Theory of Law and State mengemukan tentang teori jenjang atau hierarki norma. Bahwa antar norma tidak boleh saling bertentangan. Norma yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih rendah juga merupakan penjabaran dari norma yang lebih tinggi. Kondisi tersebut agar terjadi harmonisasi norma secara vertikal. Semakin tinggi suatu norma, maka nilainya semakin fundamental. Ada setidaknya tiga pembagian hierarki norma menurut Hans Kelsen. Hierarki tertinggi adalah groundnorm (norma dasar). Kemudian constitution (hukum tertinggi). Terendah adalah stature and ordinance (Undang-Undang dan peraturan pelaksana).

Jika teori hierarki norma dari Hans Kelsen tersebut diterjemahkan dalam kasus ini maka Pancasila merupakan groundnorm, UUD 1945 adalah constitution, dan UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksana adalah stature and ordinance. Oleh karena itu UU Cipta Kerja tentu tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Di sinilah pentingnya hierarki norma dalam menjaga harmonisasi peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya harmonisasi, maka akan terjadi disharmoni yang menyebabkan peraturan perundang-undangan saling silang sengkarut dan tumpang tindih. MK melalui uji formil telah menegakkan hierarki norma dalam peraturan perundang-undangan. UU Cipta Kerja tidak boleh bertentangan dalam pembentukannya dengan UU PPP. mengingat UU PPP adalah amanat dari UUD 1945.

Lalu bagaimana dengan nasib UU Cipta Kerja pasca perubahan kedua UU PPP? Nasib UU Cipta Kerja adalah tetap harus menyesuaikan UU PPP. Artinya pembentukan UU Cipta Kerja harus tetap dilakukan sesuai dengan UU PPP. Hal ini karena UU PPP tidak menganut asas retroaktif (berlaku surut). Tidak ada ketentuan dalam UU PPP yang mengatakan berlaku surut. Pembentukan UU Cipta Kerja harus dimulai lagi dari awal sesuai dengan UU PPP. Melihat adanya perubahan UU PPP yang memasukkan metode omnibus, sesungguhnya memberikan jawaban bahwa UU Cipta Kerja akan diperbaiki. Artinya Pemerintah dan DPR akan tetap mempertahankan UU Cipta Kerja dengan melakukan perbaikan-perbaikan sesuai amanat Putusan MK dan UU PPP. Jika Pemerintah tidak ada niat untuk mempertahankan UU Cipta Kerja, maka tidak mungkin ada perubahan dalam UU PPP yang di dalamnya terdapat metode omnibus.

Hal yang perlu diketahui juga, bahwa ke depan dapat dipastikan akan ada peraturan perundang-undangan yang pembentukannya menggunakan metode omnibus. Tidak terbatas pada Undang-Undang saja. Melainkan juga jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Ini adalah akibat dan konsekuensi dari adanya perubahan kedua UU PPP. Pasal 64 ayat (1) UU PPP menyatakan bahwa “Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan”. Kemudian ayat (1a) menyatakan bahwa “Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan metode omnibus”.

Jadi kemungkinan besar ke depan akan terdapat banyak Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, bahkan Peraturan Daerah yang pembentukannya menggunakan metode omnibus. Kita tentu tidak mempersoalkan pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus selama dalam pembentukannya sesuai hukum yang berlaku. Kita akan mempersoalkan apabila pembentukan peraturan perundang-undangan menabrak hukum yang ada. Karena ini merupakan pengkhianatan terhadap negara hukum sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3). Hal yang lebih penting untuk dipersoalkan apabila pembentukan peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat secara umum dan tidak demokratis. Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengucapkan selamat datang metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Semoga dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang taat hukum, responsif, aspiratif, demokratis, dan berkeadilan.

Categories:

Tinggalkan Balasan