Eksistensi Kuasa Pajak dalam Rezim Hukum Perpajakan di Indonesia
5 min readEksistensi Kuasa Pajak dalam Rezim Hukum Perpajakan di Indonesia – Setiap Negara dituntut untuk dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui berbagai pembangunan. Dalam mengusahakan pembangunan tersebut tentunya membutuhkan pendanaan yang kuat, salah satu sumber penerimaan dana negara terbesar adalah melalui pajak, sehingga salah satu fungsi pajak yang dikenal adalah fungsi anggaran. Pajak dikenal sebagai iuran wajib yang dipungut Pemerintah yang didasarkan pada undang-undang (Bohari, 2016:35). Lima unsur pokok definisi pajak ialah berupa iuran/pungutan, dipungut berdasarkan undang-undang, bersifat dapat dipaksakan, tidak menerima kontra prestasi, dan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah (Sutedi, 2022:3). Dalam proses pemungutan pajak, tentunya ada suatu batasan atau kriteria yang digunakan dalam menghitung besaran pajak yang harus dibayarkan masyarakat, hal itu dinamakan dengan sistem pemungutan pajak. Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menurut beberapa indikator, salah satunya adalah mengenai siapa yang menerapkan pajaknya, yaitu terdiri atas official assesment system, self assesment system, dan with holding system. Indonesia sendiri melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang dibuat pada tahun 1983 dan hingga kini mengalami beberapa kali perubahan, Pasal 12 ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa “setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak”. Hal ini menunjukkan bahwasanya Indonesia menganut self assesment system.
Self assesment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak (Rizki, 2018: 85) dengan peran fiskus yang cenderung pasif hanya mengawasi. Keunggulan sistem ini diantaranya a) mampu menampung dinamika pertambahan wajib pajak seiring dengan pertumbuhan perekonomian negara; b) memberi peluang atau kesempatan bagi wajib pajak untuk membayar sendiri pajak terutang tanpa menunggu diterimanya surat ketetapan pajak; serta c) mendukung partisipasi aktif dari masyarakat dalam menghimpun dana untuk pembangunan. Di antara kelebihan tersebut, turut terdapat kelemahan yang menyertai, yaitu a) kepercayaan yang diberikan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri masih diragukan kebenarannya; dan b) masih banyak wajib pajak yang merasa kesulitan dalam menghitung pajak terutang karena Undang-Undang tidak merinci secara detail mengenai jenis pajak yang dibebankan (Pramudya, Wibisono, dan Mustafa, 2020: 369).
Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, meskipun wajib pajak sudah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan sistem self assesment, bukan berarti wajib pajak tidak dimungkinkan lagi untuk dilakukan pemeriksaan (Rizki, 2018: 85). Peran aktif wajib pajak dalam sistem tersebut juga dapat berujung negatif, sebab tidak semua Wajib Pajak memahami ketentuan perpajakan sehingga dapat menimbulkan sikap acuh tak acuh dalam pembayaran pajak. Menyadari hal tersebut UU KUP melalui Pasal 32 ayat (3) memberi kelonggaran bagi Wajib Pajak untuk dapat menunjuk Kuasa Pajak untuk menjalani hak dan memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak tersebut melalui penunjukkan dengan disertai surat kuasa khusus. Perlu diberikan penegasan antara Kuasa Pajak dengan Kuasa Hukum Pajak. Kuasa Pajak adalah pihak yang diberi kuasa khusus untuk melaksanakan hak-kewajiban perpajakan, sedangkan Kuasa Hukum Pajak adalah pihak yang dapat mendampingi/mewakili Wajib Pajak yang bersengketa dalam beracara pada Pengadilan Pajak. Sayangnya, pada Pasal 32 ayat (3a) KUP tidak menyinggung sama sekali mengenai persyaratan dan batasan siapa yang dapat menjadi Kuasa Pajak, yang kemudian menyerahkan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan untuk mengakomodirnya.
Eksistensi kuasa pajak lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 (PMK 229/2014). Kuasa Pajak tentunya memiliki hak dan kewajiban. Kewajiban tersebut berupa: a) melakukan dan atau memperlihatkan pembukuan dalam hal pemeriksaan pajak; b) membayar pajak sesuai ketentuan Undang-undang; c) melakukan pemotongan pajak; d) mengisi dan menyampaikan surat pemberitahuan. Hak yang menyertai Kuasa Pajak berupa: a) dapat membetulkan, dan memperpanjang waktu penyampaian surat pemberitahuan; b) dapat mengajukan gugatan serta upaya hukum lainnya; dan c) berhak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak (Gusti Ayu & Suharta, 2019: 9). Terdapat hal yang menjadi sorotan yakni keberadaan Pasal 2 ayat (4) PMK yang menyempitkan makna siapa saja yang dapat menjadi Kuasa Pajak, yaitu meliputi konsultan pajak dan karyawan wajib pajak. Degradasi makna pihak yang dapat menjadi Kuasa Pajak ini tentunya dianggap sebagai pembatasan hak konstitusional setiap orang atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebab dapat saja orang yang dinilai memiliki kompetensi perpajakan namun berstatus di luar kedua pihak yang disebut di atas, yang tidak dapat menjalankan profesinya hanya karena adanya aturan tersebut. Kemudian ketentuan PMK tersebut yang berpangkal dari UU KUP diajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi oleh kelompok advokat. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017 menyatakan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP (yang menjadi cikal bakal lahirnya PMK 229/2014), yang pada intinya menyatakan pengaturan substansial dalam PMK adalah inkonstitusional, sehingga berkesimpulan bahwa Kuasa Pajak tidak harus seorang konsultan pajak. Perlu adanya suatu revisi atas PMK 229/2014 demi menghadirkan win-win solution, agar terdapat standar dan kriteria yang dapat menjamin setiap orang yang menjadi Kuasa Pajak adalah kompeten dalam bidang perpajakan demi turut memberi perlindungan kepada Wajib Pajak sebagai konsumen. Empat tahun pasca putusan MK, tidak kunjung hadir revisi atau pembaharuan PMK 229/2014 sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penunjukan Kuasa Pajak.
Pemerintah melalui omnibus law di bidang perpajakan, akhirnya merumuskan suatu undang-undang baru yang mengubah beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hadirnya UU HPP membawa angin segar perubahan aturan perpajakan, termasuk pula ketentuan mengenai penunjukan Kuasa Pajak yang telah lama nihil aturan pembaharuan. Melalui Pasal 2 ayat (9) yang mengubah Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, berbunyi “Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua.”. Aturan tersebut berarti dua hal, pertama bahwasanya setiap orang kini telah dapat menjadi Kuasa Pajak dengan syarat memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kedua terdapat pengecualian bagi Kuasa Pajak yang merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua yang tidak diharuskan memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Hal ini memberi kepastian status pihak yang dapat ditunjuk menjadi Kuasa Pajak, namun hingga kini belum ada aturan turunan yang khusus mengatur hal-hal teknis mengenai penunjukan Kuasa Pajak tersebut. Diharapkan aturan turunan dapat segera rampung sebab masih terdapat kekosongan aturan, dalam rangka menjamin kompetensi Kuasa Pajak maupun hak konsumen, yaitu Wajib Pajak agar mendapat pelayanan bantuan pengurusan perpajakan yang optimal, demi pemenuhan kewajiban perpajakan warga negara.