PERINGATI UUPA KE-62, MARI REFLEKSI PENGATURAN BANK TANAH PASCA PUTUSAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA – Indonesia sebagai negara dengan tradisi hukum civil law menempatkan Undang-Undang sebagai sumber utama mencari keadilan. Keadilan agraria atau pertanahan dijamin dalam Pasal 33 terutama ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republlik Indonesia. Hadirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menjadi negasi atas jiwa Undang-Undang agraria kolonial tahun 1870 juga merupakan sarana masyarakat mencari keadilan pertanahan meskipun saat ini telah mencapai usia 62 tahun pada 24 September 2022.
Eksistensi UUPA menimbulkan kontroversi sejak tahun ke tahun dengan asumsi antara pencabutan atau penyempurnaan. Gaungnya Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) sejak kurang lebih 40 tahun lalu sampai dengan artikel ini diterbitkan, RUU Pertanahan masih sebatas RUU. Isu pengesahan RUU Pertanahan mulai mereda, namun timbul gejolak respon atas pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
UU Cipta Kerja dalam bidang pertanahan menghendaki percepatan reforma dan redistribusi tanah, salah satunya dengan cara membentuk Bank Tanah. Bank Tanah merupakan badan khusus untuk mengelola tanah yang belum dikenal dalam UUPA, namun Bank Tanah merupakan perwujudan hak untuk menguasai negara yang diatur dalam Pasal 2 UUPA. Pemerintah kemudian menyusun konstruksi hukum pembentukan Bank Tanah sesuai Pasal 135 UU Cipta Kerja dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (PP Bank Tanah).
Harapan keberadaan Bank Tanah untuk menjadi garda terdepan yang menjamin ketersediaan tanah tidak dapat dilepaskan dari kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria. Proses penyempurnaan pengaturan Bank Tanah diwarnai Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada 25 November 2021. Pertanyaannya adalah, bagaimana pengaturan Bank Tanah pasca putusan inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja?
Semangat penumbuhan investasi yang sedang ditumbuhkan oleh Pemerintah melalui UU Cipta Kerja membutuhkan kepercayaan (trust) investor untuk masuk dan berkembang di Indonesia. Untuk mendukung langkah Pemerintah tersebut, peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan juga ikut menjadi semarak harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Pembentukan Bank Tanah diatur dalam Pasal 135 UU Cipta Kerja dan PP Bank Tanah menyebutkan bahwa Bank Tanah merupakan badan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Urgensi pembentukan Bank Tanah menjadi solusi atas tingkat kebutuhan penyediaan tanah bagi pembangunan yang tidak ter-cover dalam instrumen pengadaan tanah yang aktif sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum (Ranitya, 2016:451).
Keberadaan Bank Tanah sebagaimana Pasal 3 PP Bank Tanah mempunyai tugas dan fungsi untuk perencanaan, perolehan tanah, pengadaan tanah, pengelolaan tanah, pemanfaatan tanah dan pendistribusian tanah. Tugas dan fungsi tersebut tidak bisa lepas dari kepentingan umum. Bank Tanah dapat dikatakan sebagai salah satu alat perlengkapan negara untuk bergerak dan bekerja. Alat perlengkapan negara dapat berupa organ, institusi, lembaga, instansi, komisi, badan, forum, dan lainnya.
Badan Bank Tanah memiliki kewenangan yang bersumber tidak langsung dari konstitusi, artinya kewenangannya bersumber dari Undang-Undang dan peraturan turunannya. Hal ini sudah diprediksi oleh beberapa ahli, salah satunya Jimly Ashiddiqie (2003:22) yang menjelaskan bahwa alat perlengkapan negara tersebut diketahui memunculkan perkembangan lembaga-lembaga yang bersifat independen yang sering kali bersifat campur-sari. Sifat “campur-sari” tersebut dijelaskan bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk terlihat semi legislatif dan regulatif, semi administratif, semi judikatif, bahkan terdapat istilah independent and self regulatory bodies.
Proses perjalanan pengaturan Bank Tanah diwarnai gugatan uji formil UU Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Gugatan tersebut telah diputus oleh MK dengan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2021 yang dalam pokok permohonannya menyatakan 9 (sembilan) poin sebagai berikut:
Permohonan Pemohon I dan II tidak dapat diterima;
Permohonan Pemohon III, IV, V, dan VI mengabulkan untuk sebagian;
Pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (tidak diperbaiki dalam waktu dua tahun);
UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan;
Memerintahkan perbaikan paling lama dua tahun kepada pembentuk undang-undang;
Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja berlaku kembali apabila pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan;
Menangguhkan segala tindakan/kebiakan yang bersifat strategis dan berdampak luas yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja dan tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru;
Memuat putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia; dan
Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya.
Poin-poin putusan di atas dapat dipahami bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, namun apabila tidak dilakukan perbaikan maka dinyatakan inkonstitusional permanen. UU Cipta Kerja diputus bertentangan dengan UUD NRI 1945 apabila tidak memenuhi persyaratan. Persyaratan tersebut secara eksplisit memerintahkan legislative review oleh pembentuk undang-undang.
Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2021 melahirkan norma khusus yang selama tidak dibatalkan, maka dimaknai bahwa norma tersebut pasti (valid) dan berlaku (legal). Apalagi kedudukan MK sebagai peradilan pertama dan terakhir mempunyai kekuatan hukum mengikat (final and binding) dan memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht). Putusan MK bersifat erga omnes atau ditujukan kepada semua orang dapat dikategorikan sebagai negative legislator. Konsekuensi atas sifat tersebut menyebabkan semua Putusan MK tidak hanya mengikat para pihak (inter parties), tetapi harus ditaati oleh siapapun (erga omnes) termasuk pemerintah.
Proses tunggu perbaikan UU Cipta Kerja masih berlangsung, Presiden justru menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah (Perpres Nomor 113 Tahun 2021). Peraturan tersebut disahkan pada 27 Desember 2021 dan termuat dalam Lembaran Negara Nomor 279 Tahun 2021. Artinya, satu bulan pasca Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2021 pada 25 November 2021 dibacakan, Pemerintah menerbitkan aturan pelaksana turunan dari UU Cipta Kerja. Kondisi ini menimbulkan kritik masyarakat, salah satunya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof. Maria SW Sumardjono yang dikutip dari laman hukumonline pada 10 September 2022 menyampaikan bahwa Perpres Nomor 113 Tahun 2021 terang-terangan melanggar putusan MK. Perpres Nomor 113 Tahun 2021 sejatinya merupakan aturan pelaksana turunan dari PP Bank Tanah yang materi muatannya berisi yang diperintahkan oleh UU Cipta Kerja dan PP Bank Tanah.
Uraian di atas diketahui bahwa pengaturan Bank Tanah pasca putusan inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja masih terus disempurnakan. Melalui momentum perayaan hari UUPA yang ke-62, marilah kita mengingatkan legislator untuk segera menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, guna mendukung pondasi pengaturan Bank Tanah dan pengaturan lain yang turut diatur dan terdampak pasca putusan inkonstitusional UU Cipta Kerja.
Tinggalkan Balasan