Pengaturan Profesional Jabatan Hakim Dalam Undang-Undang

Pengaturan Profesional Jabatan Hakim Dalam Undang-Undang – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jabatan Hakim sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Selama ini belum ada aturan yang komprehensif terkait jaminan perlindungan, kesejahteraan, keamanan, dan pola jenjang karier hakim sebagai pejabat negara. Dalam RUU Jabatan Hakim ada konsekuensi pengaturan rekrutmen, promosi-mutasi, jaminan hak kesejahteraan, perlindungan kesehatan dan keamanan bagi para hakim.

Hakim sebagai profesi mulia harus dilindungi Undang-Undang berikut jaminan hak-haknya sebagai pejabat negara. Peran besar hakim tersebut sejalan dengan prinsip bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya menurut UndangUndang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) ditentukan adanya suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

Kedudukan hakim sebagai pejabat negara juga dinyatakan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman)yang menyebutkan bahwa“Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.”Kemudian dalam perkembangannya status hakim ini juga kembali dipertegassebagaimana dinyatakan dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN)yang menyatakan bahwa Pejabat Negara yaitu “Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc”.Perlu menjadi catatan dalam perkembangan terbaru ini adalah UU ASN mengeluarkan hakim ad hoc dari pengertian “hakim” yang dikategorikan sebagai pejabat negara. Hal ini tentu dapat menjadi potensi masalah di kemudian hari mengingat pengertian “hakim” dalam UU Kekuasaan Kehakiman juga melingkupi hakim ad hoc.

Adapun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada tanggal 20 April 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) menguatkan konsep bahwa hakim ad hoc bukanlah termasuk dalam pengertian hakim yang dikategorikan sebagai pejabat negara. MK berpendapat bahwa pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekrutmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat negara pada umumnya. Selain itu, tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. Hakim ad hoc merupakan hakim non-karir yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus. Hakim ad hoc dapat memberi dampak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karir menangani sebuah perkara sehingga dalam putusan tersebut MK menilai bahwa Pasal 122 huruf e UU ASN tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi dalam pertimbangan putusan tersebut, MK berpendapat bahwa penentuan hakim ad hoc sebagai pejabat negara merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktuwaktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian penentuan kualifikasi pejabat negara yang dikecualikan untuk hakim ad hoc sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

Pemberian status “pejabat negara” pada jabatan hakim, dari sebelumnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), didasari pemikiran bahwa hakim adalah personil yang menyelenggarakan kekuasaan di bidang yudikatif dan bukan di bidang eksekutifsehingga status yang melekat pada hakim bukan PNS. Status hakim sebagai PNS sangat memungkinkan terjadinya intervensi atas kebebasan hakim karena persoalan struktural, psikologis, dan watak korps serta birokrasi yang membawa atau menuntut ikatan tertentu. Kemandirian hakim dalam negara hukum (rechtstaat) adalah mutlak. Hal ini sesuai dengan prinsip “The International Commission of Jurist” yaitu peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary).

Saat ini beberapa aspek terkait jabatan hakim seperti pengangkatan hakim, hak keuangan, jenjang karier/kepangkatan, dan fasilitas masih mengikuti standar aturan bagi PNS.Dengan Undang-Undang Jabatan Hakim ini diperlukan untuk menjamin bahwa hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman benar-benar mandiri, bebas dari intervensi kekuasaan pemerintah sehingga sesuai dengan prinsip “kekuasaan kehakiman yang merdeka, transparan, dan akuntabel.

Menurut  Alexander

Hamilton,kemandirian kekuasaan kehakiman sangat penting, oleh karena itu maka perlu adanya jaminan proteksi terhadap penegakan kemandiriannya. Jaminan proteksi kekuasaan kehakiman itu harus ada karena kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling lemah, oleh karena itu diperlukan perlindungan melalui konstitusi atau undang-undang dasar.

Pada dasarnyaindependensi kekuasaan kehakiman memiliki dua aspek yaitu independensi institusional atau dalam istilah lain disebut juga independensi eksternal atau kolektif dan independensi individual atau internal atau fungsional.Independensi individual merupakan independensi yang menitikberatkan hakim sebagai titik sentralnya.Artinya seorang hakim dalam memutus perkara harus didasarkan pada fakta dan dasar hukum yang diketahuinya, serta bebas dari pengaruh, tekanan, atau ancaman, baik langsung maupun tidak langsung, dari manapun dan dengan alasan apapun juga.Oleh karena itu, prinsip kemandirian harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya.

Independensi hakim tidak hanya selalu terkait dengan sikap dan perilakunya mereka di dalam bekerja, tapi juga harus tercermin dalam berbagai pengaturan yang berkaitan hal-hal yang bisa meningkatkan kinerja mereka. Misalnya saja proses seleksinya, masa kerja, pembinaan (pelatihan), sistem promosi dan mutasi, sistem penggajian, dan pemberhentian hakim. Dari penjelasan tersebut, hingga saat ini hanya penggajian hakim yang dalam praktiknya belum mandiri karena sistem penggajian hakim masih ditentukan oleh lembaga eksekutif (Kementerian Keuangan).

Meskipun independensi kekuasaan kehakiman begitu penting di dalam konsep negara hukum, bukan berarti independensi kekuasaan kehakiman bisa sebebas-bebasnya tanpa ada batas atauabsolut karena di dunia ini kekuasaan yang tidak terbatas hanyalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungan-jawaban atau akuntabilitas. Pada dasarnya independensi dan akuntabilitas merupakan dua sisi dari sekeping mata uang yang saling melekat.Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) harus diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).

Pentingnya akuntabilitas sebagai penyeimbang independensi mendapatkan legitimasi konseptual dari International Bar Association Code of Minimum

Standards of Judicial Independence dalam angka 33 menyatakan bahwa, “…It should be recognized that judicial independence does not render the judges free from public accountability, howefer, the press and other institutions should be aware of the potential conflict between judicial independence and excessive pressure on judges.(Harus diakui bahwa kemerdekaan yudisial tidak menjadikan para hakim bebas dariakuntabilitas publik, bagaimanapun, pers dan lembaga lainnya harus menyadari konflik potensial antara independensi peradilan dan tekanan yang berlebihan pada hakim).”

Salah satu bentuk akuntabilitas terhadap independensi kekuasaan kehakiman adalah transparansi.Dengan adanya transparansi pada intitusi kekuasaan kehakiman, maka keadilan yang dinginkan oleh publik yaitu keadilan dapat terwujud.Bentuk konkrit terhadap transparansi independepensi kekuasaan kehakiman adalah transparansi putusan.Untuk mewujudkan transparansi ini, pengadilan perlu menjamin kemudahan bagi publik untuk mengaksesnya.Apabila putusan-putusan hakim telah mudah diakses oleh publik maka publik bisa dengan mudah mengontrol putusan-putusan. Kontrol itu bisa dilakukan dengan cara eksaminasi putusan atau penelitian putusan.

Dengan diaturnya sistem satu atap Mahkamah Agung dan Hakim menjadi Pejabat Negara, independensi kekuasaan kehakiman diharapkan mampu untuk menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Categories:

Tinggalkan Balasan