KEKOSONGAN HUKUM ATURAN MUNDUR UNTUK PENGISIAN WAKIL KEPALA DAERAH YANG BERASAL DARI ANGGOTA DPR RI – Pengaturan pengisian posisi Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota (Wakil Kepala Daerah) diatur dalam Pasal 176 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016. Adapun mekanisme pengisian kekosongan jabatan Wagub DKI dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut. Selanjutnya, prosesi pemilihan Wagub dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta telah diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten dan Kota. DIkarenakan pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung, maka bebas pula partai politik atau gabungan partai politik pengusung untuk mengusulkan calonnya yang berasal dari mana pun termasuk yang saat ini masih menjabat sebagai pejabat negara, salah satunya masih menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Namun demikian terdapat pertanyaan berikutnya, bagaimanakah aturan mundur bagi DPR RI yang mengisi posisi jabatan Wakil Kepala Daerah?
Mundurnya anggota DPR yang maju sebagai calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf s UU No. 10 Tahun 2016 yakni “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan”. Aturan mundurnya anggota DPR yang maju sebagai calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah ini merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU- XIII/2015. Namun demikian aturan ini adalah terkait dengan persyaratan calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, bukan aturan yang terkait dengan pengisian Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah jika terdapat kekosongan jabatan.
Dewasa ini terdapat contoh aktual terkait dengan hal ini yakni anggota DPR RI atas nama Ahmad Riza Patria yang diusulkan untuk mengisi posisi jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta (inews.id). Problematika muncul karena tidak terdapat aturan yang jelas kapankah seorang anggota DPR RI yang maju untuk mengisi posisi jabatan Wakil Kepala Daerah tersebut untuk mundur? Ketika kedua jabatan tersebut baik itu Anggota DPR RI ataupun Wakil Gubernur DKI Jakarta keduanya merupakan jabatan pejabat negara, maka sudah dapat dipastikan tidak dapat terjadi rangkap jabatan.
Ketika terjadi rangkap jabatan terdapat kemungkinan-kemungkinan adanya penyalahgunaan kewenangan. Hal ini dikarenakan setiap jabatan memiliki tugas dan kewenangan masing-masing dan bilamana seseorang tidak mundur karena tidak adanya aturan tersebut dikhawatirkan tanpa disadari dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Ketika hukum positif tidak memiliki solusi maka prinsip ataupun istilah latin hukum dapat menjadi pegangan yakni alterum non laedere yang artinya perbuatanmu janganlah merugikan orang lain.
Oleh karena itu pilihan yang bijak terkait dengan hal ini adalah dengan mengambil solusi yakni Anggota DPR RI tersebut mundur ketika sudah dilantik terlebih dahulu dalam jabatannya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Walaupun hukum tidak mengatur tegas terkait dengan hal tersebut (tidak ada aturan rinci terkait mundurnya anggota DPR RI yang mengisis jabatan Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah), namun hukum janganlah justru menimbulkan pertentangan ataupun menimbulkan situasi yang merugikan.
Ketika terdapat kondisi seperti ini maka sisi kemanfaatan hukum justru yang sebaiknya diutamakan. Hal ini pula yang selalu menjadi dasari bagi pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu norma yang mana selalu dihadapkan dengan kewajiban bahwa suatu norma harus dapat membawa kemanfaatan. Apalah artinya norma yang ada dibuat namun memunculkan kekisruhan/keresahan. Hal ini juga tidak sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri yang seharusnya mengandung nilai-nilai dasar yakni nilai keadilan (gerechtigkeit), nilai kemanfaatan (zweckmassigkeit)
Hitung-hitungan secara politik juga penting, hal ini dikarenakan politik kita seperti yang kita ketahui pun semuanya berwarna “abu-abu”. Karena dalam politik segaka sesuatunya masih dapat berubah, makadengan demikian, ketika dihadapkan dengan kondisi aktual yakni kondisi dimana seorang Anggora DPR RI dicalonkan untuk mengisi posisi Wakil Gubenur DKI Jakarta maka yang terbaik dan mungkin dilakukan adalah mundur ketika sudah menjabat dalam posisinya sebagai Wakil Gubenur DKI Jakarta. Hal ini merupakan pilihan yang paling baik dan mencerminkan sisi kemanfaatan yang nyata.
Sepatutnya kedepan untuk menghindari situasi semacam ini, kedepannya perlu ada pengaturan yang jelas bilamana terjadi kembali hal semacam ini. Pegaturan ini bisa diatur dalam revisi UU Pilkada dan/atau revisi UU MD3. Pengaturan ini penting juga diatur dalam UU MD3 yang mengatur terkait MPR, DPR, DPD, maupun DPRD pada saat ini dikarenakan setelah dilantik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), UU MD3 lebih berperan. Namun diluar dari revisi aturan yang sudah ada saat ini, bisa juga jikalau pembentuk undang-undang membentuk undang-undang khusus mengenai pejabat negara. Di dalamnya pembentuk undang-undang bisa mengatur hal-hal yang terkait dengan contoh aktual seperti ini yakni contoh terjadinya rangkap jabatan. Pengaturan ini penting dan perlu diatur secara tegas agar kedepannya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang muncul dari potensi rangkap jabatan karena tidak adanya aturan yang pasti kapan mundurnya pejabat negara untuk mengisi jabatan negara yang lain.
Tinggalkan Balasan