PENGHAPUSAN KEWENANGAN PEMERINTAH UNTUK MEMBATALKAN PERDA
6 min readPENGHAPUSAN KEWENANGAN PEMERINTAH UNTUK MEMBATALKAN PERDA – Mahkamah Konstitusi (MK) pada 5 April 2017 yang lalu membacakan putusan pengujian undang-undang terhadap beberapa norma dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Putusan perkara Nomor 137/PUU- XIII/2015 tersebut mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), beberapa Kepala Daerah dan Ketua DPRD sebagai unsur pemerintahan daerah dan beberapa Bupati serta satu perorangan. Salah satu pasal yang diuji dan dikabulkan terkait pengaturan kewenangan gubernur membatalkan peraturan Daerah (perda kabupaten/kota). Sehingga kini gubernur dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tidak lagi dapat membatalkan perda kabupaten/kota. Putusan ini pun berdampak pembatalan perda kabupaten/kota hanya dapat ditempuh melalui mekanisme judicial review Mahkamah Agung (MA). Persoalan kemudian adalah bagaimana langkah efektif pemerintah untuk mengatasi peraturan daerah bermasalah yang masih kerap muncul dan siapkah Mahkamah Agung (MA) menjadi satu-satunya lembaga yang dapat membatalkan perda kabupaten/kota?
Putusan Tidak Bulat, Empat Hakim Ajukan Dissenting Opinion
Ada beberapa pertimbangan hukum yang digunakan MK dalam memutus kewenangan pembatalan perda oleh gubernur dan Mendagri sebagaimana diatur dalam Pasal 251 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Pemda. Pertama, pemberian kewenangan kepada Menteri dan Gubernur membatalkan perda kabupaten/kota dinilai bertentangan dengan logika Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Kedua, pemberian kwenangan ini juga menegaskan MA sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang. Ketiga, penilaian kepentingan umum dan/atau kesusilaan yang menjadi tolok ukur menilai perda merupakan kewenangan kekuasaan yudikatif. Keempat, pembatalan perda kabupaten/kota dengan Keputusan Gubernur juga dinilai tidak tepat karena tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tidak mengenal keputusan gubernur dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. keputusan gubernur sebagai bentuk beschikking dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Apabila keputusan gubernur mengenai pembatalan perda digugat melalui PTUN dan dikabulkan maka perda akan berlaku kembali. Di sisi lain, ada hak untuk mengajukan judicial review perda tersebut ke MA. MK menilai hal ini bisa mengakibatkan adanya dualisme putusan pengadilan.
Putusan menghapus kewenangan gubernur dan Mendagri membatalkan perda kabupaten/kota ini tidak disetujui secara bulat oleh majelis hakim. Empat hakim mengajukan dissenting opinion yaitu Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida, dan Manahan MP Sitompul. Argumentasi yang diajukan dalam dissenting opinion tersebut antara lain, pertama, Indonesia menganut sistem satu kesatuan hukum antara pusat dan daerah. Kedua, kewenangan membentuk perda merupakan bentuk kewenangan atribusi. Ketiga, Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi pemerintahan mempunyai kewenangan mengambil tindakan terhadap produk hukum penyelenggara pemerintahan yang mengandung cacat. Keempat, Presiden berkepentingan memastikan penyelenggaraan pemerintahan di bawah tanggung jawabnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepentingan umum dan kesusilaan. Sehingga pemberian kewenangan kepada Menteri dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat membatalkan perda dinilai konstitusional. Kelima, materi muatan perda adalah materi yang bersubstansikan urusan Pemerintahan. Sedangkan urusan pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden. Sehingga dengan logika ini, apabila pembatalan perda oleh Presiden melalui Mendagri dan gubernur dianggap sebagai norma yang inkonstitusional maka sama artinya dengan mengatakan bahwa pemerintahan daerah bukan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang tanggung jawab terakhirnya ada di tangan Presiden. Keenam, pembatalan perda merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif dan tidak dimaksudkan menggantikan kewenangan judicial review. Pihak yang merasa dirugikan masih dapat mengajukan judicial review.
Putusan MK ini mengakhiri perdebatan panjang dalam menentukan lembaga mana yang paling berhak membatalkan perda. Selama ini, pembatalan perda selalu dibawa ke dalam perdebatan antara masuk ke rezim hukum/perundang-undangan atau pemerintahan daerah. Rejim perundang- undangan lebih melihat perda sebagai produk legislatif sehingga pengujiannya harus ditempuh melalui judicial review. Sedangkan rezim Pemerintahan Daerah melihat perda sebagai produk hukum yang dibentuk oleh pemerintahan daerah sebagai bagian dari kekuasaan Pemerintahan. Sehingga Pemerintah dapat membatalkan perda melalui excecutive review. Selain mengakhiri perdebatan, putusan ini juga memberikan pengaruh yang besar bagi kebijakan penataan regulasi, mekanisme pengawasan perda oleh pemerintah dan penataan pelaksanaan judicial review di MA. Konsekuensinya beberapa institusi harus berbenah dalam menjalankan fungsinya pasca putusan MK ini. Bagaimanapun juga, putusan ini bersifat final dan mengikat., sehingga harus dihormati dan dilaksanakan.
Tantangan Bagi MA dan Kemendagri
Setelah terbitnya putusan MK tersebut, berbagai media memberitakan respon Mendagri yang menyesalkan penghapusan norma kewenangan pemerintah, melalui gubernur dan Mendagri, membatalkan perda. Penghapusan kewenangan ini dapat menghambat program deregulasi untuk investasi karena masih banyak perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan memperpanjang birokrasi perizinan investasi (hukumonline.com, 6 April 2017). Bagi Pemerintah, putusan ini memang berdampak serius. Pembatalan perda menjadi instrumen Pemerintah dalam menjalankan deregulasi untuk menghapus perda bermasalah yang menghambat investasi. Pada Juni 2016 lalu, pemerintah membatalkan 3143 perda yang dianggap bermasalah (setkab.go.id, 13 Juni 2016).
Kekhawatiran juga muncul akan semakin tidak terkontrolnya produksi perda yang berpotensi menimbulkan kontroversi dan menghambat pembangunan. Sebenarnya mekanisme pembatalan perda bukan satu-satunya prosedur yang dapat dijalankan Pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap Perda. Pengawasan yang berujung pada pembatalan perda merupakan bentuk pengawasan represif. Sementara itu, UU Pemda juga mengenal pengawasan preventif. Pasal 242 dan Pasal 243 Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengatur kewajiban melakukan register perda yang sudah disetujui bersama antara kepala daerah dengan DPRD. Proses ini bisa dijadikan sebagai tahapan bagi pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap rancangan perda. Selain itu, bagi rancangan perda tertentu yaitu APBD, pajak, retribusi dan tata ruang, UU Pemda juga mengatur bahwa rancangan tersebut harus diajukan kepada Pemerintah untuk dievaluasi.
Proses register perda dan evaluasi untuk empat jenis perda tersebut harus dijadikan peluang bagi Pemerintah untuk mengawasi kualitas perda. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri perlu melakukan penataan ulang pelaksanaan pengawasan preventif ini. Memang kekuatan pengawasannya tidak seperti sebelumnya yang sampai pada kewenangan untuk membatalkan. Akan tetapi model pengawasan preventif ini juga yang dikehendaki oleh MK dalam putusannya. Dalam pertimbangannya majelis hakim berpendapat bahwa “terhadap peraturan daerah sebagai produk legislatif di daerah, sebaiknya hanya di “preview” oleh pemerintahan atasan apabila statusnya masih sebagai rancangan peraturan daerah yang belum mengikat untuk umum.”
Selain Kementerian Dalam Negeri, putusan ini juga berimbas pada MA. Paska putusan tersebut, pembatalan perda hanya dapat ditempuh melalui prosedur judicial review di MA. Tentu hal ini bukan suatu pekerjaan yang mudah bagi MA. Selama ini, jumlah perkara judicial review di MA rata-rata masih di bawah seratus perkara. Bahkan tahun 2016 lalu jumlah perkaranya hanya 49. Dari jumlah tersebut hanya ada sebanyak delapan perda.Tahun 2015, jumah perkara judicial review yang ditangani MA sebanyak 72. Potensi perkara judicial review perda ini sangat
besar. Apabila kita melihat pada data perda yang dibatalkan oleh Pemerintah pada 2016 sebanyak 3143 perda. Potensi perkara itu sangat besar. Walaupun memang proses judicial review berbeda dengan executive review. Judicial review dilakukan atas dasar permohonan dari pihak baik kelompok masyarakat atau perorangan. Akan tetapi, MA tetap harus berbenah dalam mengatur pelaksanaan sidang judicial review. Kini MA menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang membatalkan perda kabupaten/kota. Perlu diingat juga bahwa kewenangan judicial review MA tidak hanya pada perda, tetapi seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang. Pembenahan perlu dilakukan salah satunya melalui perubahan hukum acara judicial review yang selama ini diatur dalam Peraturan MA No. 1 Tahun 2011. Selain itu, MA perlu mempertimbangkan kebijakan lain penanganan perkara judicial review dengan melihat potensi bertambahnya perkara judicial review Pasca putusan MK ini dibandingkan jumlah hakim agung kamar tata usaha negara yang akan menangani.
Perda sebagai produk legislatif daerah yang dijamin dalam UUD NRI 1945 akan terus bertambah. Sehingga kualitas perda masih berpotensi menjadi persoalan dalam sistem perundang-undangan yang dapat berimbas pada sektor pembangunan yang menjadi wilayah pengaturan perda. Oleh karena itu, institusi yang berwenang terutama eksekutif dan yudikatif yang memiliki peran dalam meningkatkan dan menjaga kualitas perda perlu melakukan langkah- langah perbaikan pelaksanaan fungsi masing-masing. Tak ada pilihan lain, selain mentaati dan melaksanakan putusan MK terkait penghapusan norma pembatalan perda kabupaten/kota yang dimiliki oleh Mendagri dan gubernur. Putusan MK ini merupakan momentum yang baik dalam memperbaiki sistem pengawasan perda secara preventif dan pengawasan perda melalui judicial review yang selama ini belum berjalan secara efektif. Upaya perbaikan sistem ini sangat diperlukan untuk mendukung penciptaan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini perda, agar mampu memberikan manfaat dalam mendukung perubahan-perubahan yang lebih baik di masyarakat baik dari aspek sosial maupun ekonomi.