POLITIK HUKUM PERINDUSTRIAN INDONESIA

POLITIK HUKUM PERINDUSTRIAN INDONESIA – Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara (Mahfud MD, 2010: 1). Berdasarkan definisi tersebut, politik hukum dapat dimaknai sebagai berbagai kebijakan pemerintah dan peraturan perundang- undangan berdasarkan cita hukum untuk mewujudkan tujuan negara. Berkaitan dengan perindustrian, maka politik hukum perindustrian dapat didefinisikan sebagai berbagai kerbijakan dan peraturan perundang- undangan yang dilakukan dan dibuat oleh pemerintah dibidang perindustrian berdasarkan cita-cita negara dan cita-cita hukum untuk mewujudkan tujuan negara.

Politik hukum perindustrian Indonesia terus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Perubahan tersebut tidak hanya dipicu oleh perubahan ideologi, politik dan struktur ekonomi dari masa ke masa melainkan  juga perkembangan teknologi dan sistem pemerintahan. Selain itu, faktor kepemimpinan juga sangat mempengaruhi arah kebijakan politik hukum perindustrian Indonesia. Menengok sejarah, perkembangan industri Indonesia di awali dari sebelum masa kolonialisme. Hasil temuan sejarah membuktikan bahwa industri gerabah berkembang hampir merata di seluruh Indonesia dan mengalami perubahan ketika masa perkembangan industrialisasi di Eropa.

Masa kolonialisme turut mempengaruhi kondisi perindustrian Indonesia. Keberadaan serikat dagang Belanda, Vereenigle Oost-Indische Compagnie (VOC) dan masa tanam paksa (1830-1870), menjadi catatan sejarah awal industri pertanian di Indonesia. Seiring dengan itu tumbuh pula bengkel-bengkel perawatan mesin dan konstruksi baja yang menjadi embrio pabrik permesinan di pulau Jawa. Pada tahun 1934, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan peraturan baru bidang perindustrian, Bedrijfs  Reglementeerings Ordonnantie (BRO). Dengan adanya peraturan itu, pemerintah berhak memberi izin membangun pabrik, menutup pabrik, dan melakukan perubahan-perubahan. (Jur Udin Silalahi, 2009: 17).

Pada masa kolonial Jepang (tahun 1942-1945), Jepang menerapkan kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi untuk mendukung gerak maju Jepang dalam Perang Pasifik. Akibatnya terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama.

Pada masa awal kemerdekaan, pembangunan ekonomi Indonesia mengarah perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, yang bertujuan untuk memajukan industri kecil untuk memproduksi barang pengganti impor yang pada akhirnya diharapkan mengurangi tingkat ketergantungan luar negeri. Upaya tersebut dilakukan dengan berorientasi ke dalam (inward looking) dalam mengembangkan strategi industri. Langkah awal yang diambil Presiden Soekarno untuk membangun perindustrian di Indonesia adalah dengan nasionalisasi perusahan asing yang ada secara besar-besaran. De Javasche Bank (saat ini menjadi Bank Indonesia) dan KLM Interinsulair Bedrijf (KLM-IIB) maskapai penerbangan Hindia Belanda (saat ini menjadi Garuda Indonesia). Pada masa ini, sektor industri berada di bawah Kementerian Kemakmuran yang dipimpin oleh Ir. Soerachman Tjokroadisoerjo dalam Kabinet Republik Indonesia.

Belajar dari pengalaman masa sebelumnya di era Soekarno, pada Masa Orde Baru, pembangunan sektor industri di lakukan dengan berorientasi ke luar (outward looking) dalam pembangunan industri. Melalui rancangan pembangunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Pemerintahan Presiden Soeharto menetapkan prioritas pada stabilisasi ekonomi, terutama penurunan tingkat inflasi yang telah mencapai 600 persen pada tahun 1965 dan tahun 1966, perbaikan keuangan pemerintah, dan rehabilitasi basis-basis ekonomi yang produktif. Pengoperasian kekuatan- kekuatan pasar digalakan dari sebelumnya, investasi modal asing diundang masuk, dan bantuan (pinjaman) luar negeri dicari secara aktif. Pemerintah meneruskan proses pembangunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) dengan tiga tujuan utama (Trilogi Pembangunan) yaitu Stabilisasi, Pertumbuhan, dan Pemerataan).

REPELITA I (tahun fiskal 1969/1970 sampai 1973/1974) menekankan pada rehabilitasi perekonomian terutama peningkatan produksi pertanian serta perbaikan irigasi dan sistem transportasi. REPELITA II (tahun fiskal 1973/1974 – 1978/1979) difokuskan pada peningkatan standar kehidupan rakyat. Tujuan spesifik dari REPELITA II adalah memenuhi kecukupan pangan, pakaian, dan perumahan (pangan, sandang, papan); memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur, menyebarkan dan  memeratakan distribusi     hasil-hasil    pembangunan; serta  menyediakan lapangan kerja baru. REPELITA III (tahun   fiskal 1978/1979 – 1983/1984) diarahkan kepada tiga      tujuan pokok, yaitu:memperoleh distribusi yang lebih merata dari hasil-hasil pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, menjaga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan menjaga stabilitas nasional. REPELITA IV (tahun fiskal1984/1985-1988/1989) meletakan penekanan pada Sektor Pertanian untuk    mempertahankan swasembada pangan terutama swasembada beras. Pengembangan industri diprioritaskan pada industri- industri yang bisa menghasil mesin- mesin ringan maupun berat. REPELITA V (tahun   fiskal   1989/1990   – 1993/1994) dinilai sangat menentukan karena merupakan tahap akhir untuk persiapan menuju era tinggal landas (take off) pada periode REPELITA VI. Pada masa REPELITA V ini pembangunan pada bidang ekonomi diberikan prioritas dengan penekanan pada pembangunan pada Sektor Industri dengan didukung oleh pertumbuhan yang cukup tinggi dari Sektor Pertanian. Memasuki awal REPELITA VI agaknya Indonesia tidak berhasil menemukan jalan keluar dalam menghadapi krisis ekonomi global. Pada periode REPELITA VI pun format keunggulan komparatif (comparative advantages) dari Ekonomi Indonesia belum tampak. Hal itu diindikasikan dengan tidak mampu bersaingnya harga-harga sebagian besar produk pertanian maupun industri Indonesia di pasaran internasional (Jullisar An-naf, 2011: 56).

Pada masa REPELITA II kawasan industri mulai dikembangkan pada awal tahun 1970-an sebagai suatu usaha untuk memenuhi kegiatan penanaman modal baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pada awalnya Pemerintah mengembangkan kawasan industri melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). politik hukum perindustrian pada waktu itu melalui Permendagri No. 5 Tahun 1974 bahwa yang dapat diberikan lahan untuk usaha kawasan industri adalah badan hukum yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah.

Namun, pada tahun 1973 pemerintah memulai pembangunan Kawasan industri yang pertama yaitu Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung (JIEP) dan kemudian disusul oleh Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) pada tahun 1974. Kawasan industri (KI) lainnya yang dikembangkan oleh pemerintah adalah KI Cilacap (1974), KI Medan (1975), KI Makasar (1978), KI Cirebon (1984) dan KI Lampung (1986).

Catatan kebijakan terpenting yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto adalah dibukanya pintu bagi masuknya modal asing melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967. Pada masa itu dapat dikatakan sebagai masa liberalisasi ekonomi dan titik awal bagi pembangunan ekonomi dan industri yang berkelanjutan di Indonesia.

Pada masa orde baru, pemerintah mengeluarkan Undang Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian sebagai payung hukum kebijakan dibidang perindustrian Indonesia. Salah satu dasar menimbang dalam Undang-Undang tersebut adalah bahwa untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia.

Namun sayangnya, Undang- Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian belum bisa menjawab tantangan globalisasi dan liberalisasi perdagangan saat ini. Hal ini tampak pada bidang perindustrian Indonesia yang turut terkena imbas krisis ekonomi.

Indonesia mengalami dua masa krisis, yaitu pada tahun 1997-1998 krisis finansial Asia dan pada tahun 2008 krisis global. Kebijakan yang diambil pemerintah dalam masa ini berorientasi pada inward dan outward looking. Sektor industri manufaktur Indonesia tumbuh jauh lebih lamban, dimana padatahun 1997 hanya tumbuh sebesar 5,3 % dan tahun 1998 mengalami kontraksi sebanyak -11,4 % (Vivin Retno Damayanthi, 2008: 83).

Krisis global 2008 juga berdampak pada sektor industri. Hal tersebut tampak pada menurunnya pertumbuhan PDB dari ekspor dimulai pada kuartal ketiga tahun 2008. Nilai ekspor di kuartal terakhir tahun 2008 menunjukkan tren penurunan seiring dengan merosotnya nilai ekspor dari sebesar AS$12,4 triliun menjadi sebesar AS$9,7 triliun. Penurunan terbesar dalam pertumbuhan sektoral terjadi di industri-industri manufaktur (tekstil-kulit-alas kaki, kayu, dan produk-produk kayu) dan perdagangan, hotel, dan restoran- restoran (perdagangan ritel dan besar). Pertumbuhan sektor-sektor tersebut menurun sampaike titik yang terendahnya pada pertengahan kuartal ke-3 tahun 2009.

Krisis global berdampak pada industri-industri yang berorientasi pada ekspor, seperti perkebunan karet dan minyak sawit, kayu dan mebel kayu, pertambangan, manufaktur – terutama pada tekstil garmen – sektor otomotif dan elektronik. Setelah itu, sejumlah sektor seperti industri manufaktur, elektronik, dan otomotif serta perkebunan kelapa sawit mengalami puncak krisis pada bulan Januari dan Februari 2009.Pada kuartal terakhir tahun 2009, kondisi tersebut mulai memulih. Pertumbuhan sektor manufaktur telah menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal yangsama setahun sebelumnya walaupun masih lebih rendah dibandingkan dengan kuartal keempat tahun 2008 (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan Badan Pusat Statistik, 2010: 7-8).

Pencapaian target indikator laju pertumbuhan industri dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 terus mengalami penurunan. Capaian pada tahun 2011 sebesar 111,97 % mengalami penurunan sampai tahun 2014 menjadi 82,50 %. Begitu juga dengan angka realisasi pertumbuhan industri, yang berangsur-angsur turun dari sebesar 6,74 % pada tahun 2011, menjadi sebesar 6,40 % pada tahun 2012 dan kembali turun pertumbuhannya hanya sebesar 6,10% pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 turun lagi hanya tumbuh sebesar 5,61 %. Pada tahun 2015, realisasi pertumbuhan industri ini juga mengalami penurunan kembali sebesar 5,04 % (Kementrian Perindustrian, 2016: 24).

Menurunnya kontribusi sektor industri cukup mengkhawatirkan mengingat sektor industri sangat diharapkan peranannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi angka pengangguran. Penurunan kontribusi dan pertumbuhan sektor industri ini mengarah pada suatu gejala deindustrialisasi. Deindustralisasi adalah proses perubahan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh penurunan kapasitas atau aktivitas industri dalam suatu wilayah atau negara. Gejala – gejala deindustralisasi telah nampak pada perekonomian Indonesia dimana secara umum peranan sektor industri dalam sumbanganya terhadap PDB mengalami penurunan (Heru Kustanto, 2012: 98-99).

Setelah masa orde baru, masa pembangunan industri di Indonesia adalah masa reformasi sampai dengan sekarang. Sektor industri  dihadapkan pada tantangan besar untuk tetap bertahan dan terus berkembang pada masa-masa krisis ekonomi. Selain tantangan globalisasi dan liberalisasi perdagangan, perubahan sistem pemerintahan sentralisasi menjadi desentralisasi menjadi alasan kuat terbitnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2014    tentang Perindustrian. Keterlibatan semua stakeholder dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam pembangunan dan pelaksanaan kebijakan perindustrian adalah spirit yang melandasi Undang-Undang No. 3 Tahun 2014.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian adalah politik hukum dalam pembangunan Industri dengan tetap menjamin aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan manusia serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 meliputi penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional, Kebijakan Industri Nasional, perwilayahan Industri, pembangunan sumber daya Industri, pembangunan sarana dan prasarana Industri, pemberdayaan Industri, tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri, perizinan, penanaman modal bidang Industri dan fasilitas, Komite Industri Nasional, peran serta masyarakat, serta pengawasan dan pengendalian.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 mampu membawa pembangunan industri Indonesia ke arah yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan perkembangan sektor industri di Indonesia yang sudah mulai membaik pada awal tahun 2016. Berdasarkan data yang dirilis United Nations Statistics Division pada tahun 2016, Indonesia menempati peringkat keempat dunia dari 15 negara yang industri manufakturnya memberikan kontribusi terhadap PDB lebih dari 10%. Sektor industri Indonesia mampu menyumbang PDB hingga mencapai 22 %. Angka tersebut terbesar setelah Korea Selatan (29 %), Tiongkok (27 %), dan Jerman (23 %). Pada tahun 2017, Industri pengolahan nonmigas memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB nasional pada triwulan III tahun 2017 dengan mencapai 17,76%. Kontribusi ini lebih tinggi dibanding sektor lainnya, seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menyumbangkan sekitar 13,96 %, perdagangan 12,98 %, serta konstruksi 10,26%. (http://www.kemenperin.go.id/artikel/18379/Capai-5,49- Persen,-Pertumbuhan-Industri-Kembali-Meroket-di-atas- Perekonomian).

Berdasarkan perkembangan sektor industri dari awal kemerdekaan sampai dengan saat ini, dapat kita simpulkan bahwa sektor industri adalah adalah motor penggerak dan memiliki peran strategis terhadap perekonomian nasional.

Categories:

Tinggalkan Balasan