AKSES TERHADAP KEADILAN ATAS HUTAN DI TENGAH REZIM KAWASAN

AKSES TERHADAP KEADILAN ATAS HUTAN DI TENGAH REZIM KAWASAN – Kondisi miskin mengakibatkan masyarakat membutuhkan tambahan lahan untuk bercocok tanam dan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Kebutuhan tersebut mendorong masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan lahan kosong di sekitar tempat tinggalnya, walaupun disadari bahwa lahan tersebut adalah lahan hutan negara. Kemiskinan masyarakat sekitar hutan, jika tidak tertanggulangi akan mengakibatkan kerusakan hutan dalam skala kecil yang akan meluas menjadi lebih besar (Dewi, 2018:1).

Pada era Orde Baru, pemerintah mengambil kebijakan berupa pembatasan akses masyarakat untuk ikut menggarap lahan kawasan hutan (Dewi, 2018:1). Masyarakat sekitar hutan sering dianggap sebagai entitas yang dapat mengganggu proses pengelolaan kawasan hutan sehingga seringkali diposisikan sebagai musuh atau pihak yang bertanggung jawab terhadap perambahan kawasan hutan dan perusak lingkungan. Masyarakat pinggir dan  yang tinggal di dalam kawasan hutan diposisikan sebagai obyek dalam model pembangunan. Jika kawasan hutan dianggap sebagai sumber daya yang menghasilkan devisa, maka kawasan hutan harus dilindungi dan dilestarikan. Konsep melindungi dan melestarikan tersebut mengharuskan pihak pengelola menerapkan standar- standar perlindungan melalui regulasi yang kadang membatasi interaksi masyarakat dengan kawasan hutan (Sumanto, 2009: 16).

Landasan lahirnya rezim kawasan hutan adalah UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yang kemudian diganti dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meski kedua undang-undang tersebut memuat definisi kawasan hutan, namun masih ditemukan kekaburan, yang menimbulkan banyak permasalahan, khususnya dalam upaya-upaya pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengalokasian kawasan hutan produksi bagi sektor kehutanan merupakan ketidakadilan langsung    yang    diciptakan    sejak   awal.

Pemanfaatan kawasan hutan yang dibatasi hanya untuk produksi hasil hutan, berpotensi menghalangi partisipasi masyarakat dalam menentukan manfaat sumberdaya alam (Kartohadihardjo, 2020: 8). Wilayah yang disebut sebagai kawasan hutan juga sekedar klaim sepihak sektor kehutanan. Banyak pihak yang tidak sepakat termasuk di kalangan pemerintah sendiri, yakni pemerintah pusat yang mengurus sektor berbasis lahan non- kehutanan, pemerintah daerah, dan masyarakat yang tanahnya diklaim sebagai kawasan hutan. Penguasaan tanah (yang diklaim sebagai kawasan hutan) oleh masyarakat umumnya tidak dilengkapi dengan dokumen legal yang menunjukkan kepemilikan, meskipun masyarakat sangat yakin bahwa tanah yang dikelola adalah miliknya karena sudah dikuasai dan dikelolanya secara turun-temurun (Kartohadihardjo, 2020: 9).

Dalam uraian singkat ini, penulis memilih menggunakan wacana tentang akses terhadap keadilan, yang dikemukakan oleh Ward Berenschot dan Adriaan Bedner (Berenshot, 2011: 3-35). Wacana ini dipilih karena dirasa mampu membongkar proses pencarian keadilan dan untuk menunjukkan tantangan yang dihadapi seorang pencari keadilan bahkan sebelum   kasusnya ditangani oleh pihak berwenang dari negara atau adat/keagamaan.

Akses terhadap keadilan berkaitan erat dengan pemberdayaan hukum. Konsep ini bertugas menggarisbawahi bahwa proses penyelesaian ketidakadilan tidak dimulai pada saat seseorang memasuki ruang sidang. Proses ini telah dimulai bahkan sebelum orang berfikir untuk menggunakan hukum dan melibatkan upaya yang dapat mengatasi berbagai hambatan sosial, yaitu hambatan yang pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan hukum. Tidak semua kelompok dan lapisan dalam masyarakat memiliki kapasitas yang sama untuk mempengaruhi proses pembuatan hukum. Peraturan perundang-undangan tidak selalu bersesuaian dengan ide-ide keadilan masyarakat. Dengan menekankan bahwa hukum tidak selalu mencerminkan keyakinan moral bahkan dari mayoritas masyarakat sekalipun, dapat dimaklumi bahwa perjuangan untuk akses terhadap keadilan kadang-kadang memerlukan persinggungan atau bahkan bertentangan dengan hukum dan prosedur yang tengah berlaku. Di bawah ini dianalisis tahap- tahap menuju keadilan di tengah rezim kawasan, menggunakan model Rolax yang telah dimodifikasi oleh Bedner dan Vel sebagai berikut:

1.     Fase “Mendefinisikan ketidakadilan (naming)”:

Dimana seorang individu merasakan situasi tertentu atau pengalaman yang merugikan: bukannya dipandang sebagai hal yang “alami” atau “pantas”, seseorang mendefinisikan masalah nyata sehari-harinya sebagai ketidakadilan;

2.     Fase “Mencari penyebab (blaming)”:

Seorang individu memandang masalah hidupnya yang nyata itu disebabkan oleh tindakan (atau kurangnya tindakan) orang lain, dan atas dasar ini ia merumuskan keluhannya;

3.     Fase “Menyampaikan tuntutan (claiming)”:

Para pencari keadilan menyuarakan keluhan ini sebagai suatu pelanggaran merugikan terhadap kerangka normatif atau hukum tertentu (misalnya hukum adat, negara, atau Islam), dan menuntut penyelesaian atas pelanggaran ini;

4.     Fase “Mengakses Forum (accessing a forum)”:

Pencari keadilan dapat

mengungkapkan keluhan dan klaimnya di depan sebuah forum (pengadilan, dewan adat, kepala desa, dll) yang dapat membantunya untuk mendapatkan penyelesaian

5.     Fase “Menangani tuntutan (handling)”:

Forum yang telah dipilih akan menangani keluhan dengan menerapkan norma-norma.

Dari beberapa hal yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa setelah dilaksanakannya program-program untuk memberikan akses terhadap keadilan bagi masyarakat sekitar hutan, diperlukan penegasan komitmen politik pemerintah untuk agar keadilan dapat diakses masyarakat sekitar hutan. Di tengah rezim kawasan, masyarakat sekitar hutan memerlukan kepastian hukum akan tanah yang mereka garap. Ketidakpastian hukum, yang tercipta dari sifat kabur dan kontradiktif peraturan perundang-undangan atau karena penafsiran pemerintah dan pengadilan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat umum, memberikan manfaat kepada pihak yang lebih kuat (individu yang berkuasa maupun perusahaan-perusahaan) untuk membuat pihak yang berwenang menolerir praktik-praktiknya,  sedangkan pihak yang lebih lemah terjebak dalam ketidakpastian hukum.

Mengutip pendapat Kartodihardjo dan Soedomo, “Kelemahan dan ketidaktahuan masyarakat  perdesaan yang lugu tersebut bukan untuk dieksploitasi, melainkan untuk dilindungi agar hak-hak mereka terpenuhi” (Kartohadihardjo, 2020: 2). Seharusnya pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ketidakpastian hukum rezim kawasan.

Alih-alih menghapus rezim kawasan, yang tentu akan menimbulkan permasalahan baru seperti maraknya deforestasi,  pemerintah perlu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk secara partisipatif turut serta dalam proses penetapan kawasan hutan.

Categories:

Tinggalkan Balasan