ROYA PARSIAL SEBAGAI PERLINDUNGAN TERHADAP PEMEGANG SERTIFIKAT HAK MILIK SATUAN RUMAH SUSUN
6 min readROYA PARSIAL SEBAGAI PERLINDUNGAN TERHADAP PEMEGANG SERTIFIKAT HAK MILIK SATUAN RUMAH SUSUN – Tanah merupakan objek jaminan yang memiliki nilai sangat tinggi dalam sebuah perjanjian kredit antara kreditur dan debitur, karena memiliki nilai ekonomis relatif tinggi dan stabil sehingga dapat diterima dengan mudah oleh lembaga jaminan, seperti perbankan maupun lembaga lainnya. Dalam sebuah perjanjian kredit, baik yang diberikan oleh perbankan maupun lembaga lainnya akan menerapkan Prisip 5C, yaitu Character, Capital, Capacity, Collateral, dan Condition of Economy sebagai sistem penilaian yang digunakan sebelum menyepakati perjanjian kredit tersebut. Sistem penilaian itu digunakan oleh pihak Kreditur untuk memberi keyakinan dalam pemberian kredit kepada calon debiturnya dan guna mencegah terjadinya kredit macet di masa yang akan datang. Sebuah jurnal yang berjudul Credit Ratings, Collateral,and Loan Characteristics: Implication for Yield, menyatakan bahwa penggunaan agunan dapat mengurai resiko dari pinjaman yang ditentukan sejak pinjaman itu diberikan atas sebuah aset tanpa mengurangi tuntutan peminjam (Dyal-Chand, 2007: 798).
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank (Tje’aman, 1994: 34). Untuk menghindari terjadinya resiko tersebut, bank dan lembaga jaminan lainnya perlu untuk menerapkan Prinsip 5C. UU Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegangan pada prinsip kehati–hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan kredit (Ginting, 2005: 16). Tidak semua jenis jaminan dapat diterima oleh bank dalam rangka pemberian kredit, dalam hal ini bank akan mengutamakan jaminan yang bernilai tinggi sehingga dapat menanggulangi kerugian yang dialami oleh pihak bank apabila debitur tidak dapat memenuhi perjanjian kredit yang telah disepakati.
Kebutuhan masyarakat terhadap tempat tinggal merupakan kebutuhan yang sangat penting sehingga aperusahaan penyedia tempat tinggal atau yang sering disebut Developer. Developer banyak membangun tempat tinggal atau hunian yang minimalis dan berlokasi di pusat kota sehingga memiliki akses yang baik, menyebabkan hunian tersebut sangat diminati banyak orang. Tingginya minat masyarakat terhadap hunian tersebut membuat semakin banyak Developer yang mulai membangun dengan mengandalkan pinjaman kredit dari bank dengan jaminan bidang tanah dimana hunian akan dibangun.
Tanah yang dijadikan jaminan, diatasnya dibebankan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT). Pemberian Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) yang diatur dalam Pasal 51.
Bisnis hunian atau properti adalah bisnis yang sangat menjanjikan apabila pengelolaannya berjalan dengan baik. Bisnis properti tersebut berupa hunian dalam bentuk bangunan vertikal atau juga dikenal dengan Rumah Susun. Meningkatnya eksistensi bisnis properti tersebut menjadi solusi di beberapa wilayah yang mengalami keterbatasan lahan dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk atau populasi. Pembangunan perumahan atau hunian berbentuk rumah susun atau apartemen dapat mengurangi penggunaan tanah dan membuat ruang terbuka lebih lega, merupakan salah satu alternatif (Santoso, 2010: 77).
Ketentuan mengenai Rumah Susun di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rumah Susun). Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Rumah Susun adalah gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang berbentuk satuan-satuan yang masing- masing dapat dimiliki secara terpisah untuk hunian dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Unit Rumah Susun tersebut yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dan berfungsi sebagai hunian dan memiliki sarana penghubung ke jalan umum, disebut dengan Satuan Rumah Susun (Sarusun). Terhadap Sarusun tersebut akan diterbitkan Surat Hak Milik Sarusun sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun tersebut. Berdasarkan Pasal 47 ayat (5) UU Rumah Susun, bahwa rumah susun dapat dijadikan jaminan kredit dengan jaminan berupa Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) yang dibebani hak tanggungan.
Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri tetapi terikat kepada perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian kredit. Dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT, disebutkan oleh karena Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accesoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Selain itu, sesuai Pasal 10 ayat (1) UUHT bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan dan Pasal 18 ayat (1) huruf a UUHT menentukan Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.
Atas dasar hukum tersebut, perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat dengan ciri-ciri:
1. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya;
2. selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu berada;
3. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan
memberikan kepastian hukum kepada pihak- pihak yang berkepentingan;
4. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Dalam hal perjanjian kredit yang dilakukan antara Developer dengan bank yang menjadi jaminan bukanlah Sertifikat Hak Milik Sarusun (SHM Sarusun) akan tetapi Hak Atas Tanah yang berlaku atas properti tersebut yang dapat berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan maupun Hak Guna Usaha. Dimana apabila Developer gagal bayar atau wanprestasi terhadap perjanjian kredit tersebut maka dapat berdampak pada pemegang SHM Sarusun karena Sarusun yang dimilikinya dapat diekeksekusi sebagai objek pelunasan hutangnya. Terhadap suatu objek yang menjadi jaminan dalam perjanjian kredit dapat dilakukan eksekusi oleh kreditur dalam perjanjian tersebut tanpa perlu persetujuan dari debitur sebelumnya. Hak menjual tersebut dapat dilakukan oleh kreditur berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT. Dalam UUHT sudah di akomdir berbagai upaya eksekusi yang bisa dilakukan oleh kreditur dalam memperoleh pelunasan hutang dari debitur yang cidera janji/wanprestasi. Salah satunya menggunakan upaya Parate Eksekusi.
Parate Eksekusi dikatakan sebagai sarana eksekusi yang siap di tangan. Di dalam doktrin/ajaran ilmu hukum, kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate executie diberikan arti bahwa kalau debitur wanprestasi, kreditur bisa melaksanakan eksekusi objek jaminan tanpa harus meminta fiat dari ketua pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan main dalam Hukum Acara Perdata, tidak perlu ada sita lebih dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan karenanya prosedurnya lebih mudah dan biayanya lebih murah (Satrio, 2002: 219-220).
Eksekusi Hak tanggungan dapat dilakukan dengan Parate Eksekusi. Salah satu ciri UUHT yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitur cidera janji. Hal tersebut diwujudkan dengan disediakannya cara- cara yang lebih mudah daripada melalui gugatan seperti perkara perdata biasa. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUHT:
1. Eksekusi dilaksanakan berdasarkan:
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuatan sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 6 yang diperkuat dengan janji yang disebut dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf e.
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Pada prinsipnya penjualan objek Hak Tanggungan dilaksanakan melalui pelelangan umum.
2. UUHT juga memungkinkan penjualan objek Hak Tanggungan secara dibawah tangan, apabila hal tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan akan diperoleh harga tertinggi berdasarkan ketentuan di atas, maka sertifikat Hak Tanggungan yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Hal ini untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Eksekusi tanah yang menjadi jaminan tersebut dapat membuat hilangnya hak atas Sarusun yang dimiliki oleh penghuni dari Sarusun tersebut. Sebagai upaya preventif dapat dilakukan Roya Parsial pada sertifikat tanah yang akan dikenakan Hak Tanggungan atas tanah yang akan dibangun oleh developer untuk menjaga SHM Sarusun yang dimiliki oleh pembeli unit bangunan tersebut. Calon pembeli dapat memastikan bahwa tanah tempat didirkan hunian atau properti tersebut jika pun dikenakan Hak Tanggungan tetapi telah terdaftar juga untuk permohonan Roya Partial atas hak tanggungan tersebut.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan menyatakan bahwa Hak Tanggungan mempunyai sifat yang tidak dapat dibagi-bagi. Namun, dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) menyatakan pengecualian yang mengatur pencoretan Hak Tanggungan secara sebagian, sehingga bagian yang bersangkutan akan terbebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya dan Hak Tanggungan tesebut selanjutnya hanya membebani sisa objeknya untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasinya, pengecualian ini disebut Roya Parsial (Harsono, 2000: 413). Setelah Roya Parsial tersebut disepakati dan pembayaran untuk pembelian unit diselesaikan, maka sertifikat unit tersebut akan terpisah dari tanah induk properti tersebut. Kesepakatan Roya Parsial ini nantinya didaftarkan bersamaan dengan pendaftaran Hak Tanggungan atas tanah tersebut. Pihak kreditur tidak dapat mengeksekusi bagian tanah yang telah dilakukan pembayaran oleh debitur karena sertifikat unit tersebut telah terpisah akibat permohonan Roya Parsial yang telah didaftarkan.