MENINJAU ULANG TINDAK PIDANA KORPORASI DALAM PERATURAN INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

MENINJAU ULANG TINDAK PIDANA KORPORASI DALAM PERATURAN INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK – Akhir-akhir ini mulai bermunculan kasus yang meresahkan masyarakat yaitu utang-piutang melalui pinjaman online. Hadirnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tentunya bermuatan kebaikan di dalamnya akan tetapi karena tidak ada kepastian hukum secara spesifik membuat kerisauan di masyarakat. Aturan untuk mencegah adanya kejahatan yang bersifat global utamanya dalam bidang informasi dan transaksi elektronik. salah satu caranya yaitu melalui sanksi pidana bagi perorangan maupun korporasi.

Dalam meninjau ulang suatu aturan tindak pidana diperlukan aturan untuk mencegah adanya kejahatan yang bersifat global utamanya dalam bidang informasi dan transaksi elektronik. salah satu caranya yaitu melalui sanksi pidana bagi perorangan maupun korporasi . Sistem hukum pidana sendiri merupakan suatu kesatuan sistem yang bertujuan (purposive system) dan  pidana sebagai  sarana/alat untuk mencapai tujuan.  Sehingga apabila dilihat secara fungsional/operasional sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif), tahap “aplikasi’ (kebijakan yudikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan eksekutif).  Dimana semua pentahapan tersebut merupakan satu kesatuan yang harus diintegrasikan secara menyeluruh, agar proses penegakan hukum dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan yang dicita-citakan (Arief, 2011).

Pengaturan tindak pidana korporasi di bidang informasi dan transaksi elektronik diakomodir dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya disingkat ITE. Di dalam undang-undang ITE tersebut terdapat tambahan alat bukti, di mana dijelaskan dalam Pasal 5 yakni  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Alat bukti tersebut digunakan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pada undang-undang ITE tersebut tidak memberikan penjelasan yang pasti mengenai pidana pokok. Padahal di dalam pidana pokok terdapat di antaranya pidana penjara, mati, kurungan, denda, dan tutupan (Pasal 10 KUHP). Berbeda dengan ketentuan pidana dalam pasal lainnya yang secara eksplisit menjelaskan pidana pokok seperti apa yang harus dijatuhi pada pelaku tindak pidana. Adanya kekhawatiran kesalahan  menggunakan pidana pokok sebab korporasi disini adalah badan hukum yang di dalamnya terdapat pengurus dan pekerja, jika terjadi perbuatan pidana dalam dunia mayantara atas nama korporasi seperti apa penyelesaian, hal ini dikarenakan ada perbedaan penyelesaian dengan pidana umum lainnya.

Pengakuan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi untuk dapat dipidanakan, melalui beberapa tahap , yaitu (Krismen) :

1. Tahap Pertama

Pada tahap ini dilakukan pembatasan agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (naturlijk person). Apabila tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut, dimana dalam hal ini membebankan kepada pengurus korporasi “tugas mengurus” (zorgplicht).

2. Tahap Kedua

Dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi) dan tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum. Apabila suatu badan hukum melakukan tindak pidana, maka tuntutan pidana dan hukuman pidana harus di bebankan terhadap pengurus.

Akhirnya secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin badan hukum secara sungguh-sungguh. Dalam tahap ini korporasi dapat sebagai pembuat delik, yang akan dipertanggungjawabkan oleh para anggota pengurus, dan harus dinyatakan secara tegas dalam undang-undang. Dan dalam tahap kedua ini, tanggung jawab pidana secara langsung dari korporasi belum muncul.

Sudarto (1987) mengatakan bahwa dalam sistem hukum Inggris korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum. Secara teori korporasi bisa melakukan delik apa saja, akan tetapi ada pembatasannya, delik-delik yang tidak bisa dilakukan korporasi adalah:

1. Satu-satunya ancaman pidananya hanya bisa dikenakan kepada orang biasa, misalnya pembunuhan (murder, manslaughter);

2. Hanya bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya bigamy, perkosaan.

Pasal 52 ayat 4 Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik atas perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang berbunyi“ Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga”. Pasal tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana bagi korporasi jika korporasi melakukan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37. Perbuatan tersebut diantaranya:

1. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan (Pasal 27 ayat 1 s/d 4);

2. Menyebarkan berita bohong dan/atau informasi (Pasal 28);

3. Mengirimkan Informasi elektronik/dokumen elektronik (Pasal 29);

4. Mengakses komputer dan/atau sistem elektronik (Pasal 30);

5. Melakukan intersepsi atau penyadapan (Pasal 31);

6. Mengubah, menambah , mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan (Pasal 32 ayat 1);

7. Memindahkan atau Mentransfer (Pasal 32 ayat 2);

8. Melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik (Pasal 33), dan seterusnya.

Berdasarkan dari penjelasan di atas bahwa yang ada dalam pasal 27 s/d 33 dst. meliputi subjek hukum yaitu orang, artinya bahwa jika pasal 52 ayat 4 merujuk pada perbuatan yang dilarang yang ada dalam pasal 27 s/d 37 maka sebenarnya perbuatan tersebut hanya dalam ruang lingkup orang tidak spesifik menyebut badan hukum atau korporasi. Bahkan tidak ada pedoman pelaksanaan bagaiamana tindak pidana korporasi yang dilakukan melalui media informasi dan transaksi elektronik.

Meskipun saat ini telah ada Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi, akan tetapi aturan belum menjangkau pidana korporasi dalam dunia mayantara. Hal – hal  yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung dalam penanganan perkara meliputi:

1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Pengurus;

2. Pertanggungjawaban Grup Korporasi;

3. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Penggabungan, Peleburan, Pemisahan dan Pembubaran Korporasi;

4. Pemeriksaan Korporasi;

5. Pemeriksaan Pengurus;

6. Pemeriksaan Korporasi dan Pengurus ;

7. Gugatan Ganti Rugi dan Restitusi;

8. Penanganan Harta Kekayaan Korporasi;

9. Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana.

Pada Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi menyebutkan korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa perbaikan kerusakan akibat dari tindak pidana, tata cara pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Berangkat dari penjelasan di atas maka sistem peradilan pidana khususnya dalam pertanggungjawaban tindak pidana korporasi bidang informasi dan transaksi elektronik perlu adanya pembaharuan atau peninjauan ulang, meliputi:

1. Norma dalam bab perbuatan dilarang yang disebutkan dalam Undang-undang ITE harus ditambahkan mengenai badan hukum atau korporasi dengan harapan agar lebih jelas perbuatan seperti apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh korporasi dalam dunia mayantara;

2. Sanksi bagi korporasi juga harus dilakukan pembaharuan. Pasal 52 Ayat  4 masih bersifat umum. Jika mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi maka sanksi yang dapat diberikan pada korporasi yaitu pidana pokok berupa pidana denda serta perlu menambahkan pidana tambahan yang meliputi uang pengganti, ganti rugi, dan restitusi. Pentingnya pidana tambahan disini karena merupakan tata tertib bagi korporasi;

3. Pembaharuan yang paling penting yaitu adanya pedoman pelaksanaan tindak pidana korporasi tentang informasi dan transaksi elektronik. Pedoman ini harus ada dalam UU ITE/Peraturan pelaksana ITE karena bagaiamana menjalankan hukum materiilnya jika tidak ada hukum formilnya. Hukum formil ini nantinya diadakan untuk mempermudah para penyeldik, penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani perkara tindak pidana korporasi dalam dunia mayantara.

Categories:

Tinggalkan Balasan