MENAKAR URGENSI PPHN
6 min readMENAKAR URGENSI PPHN – Wacana mengenai revitalisasi haluan negara kembali bergulir di tahun ke-2 periode kedua masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, wacana revitalisasi Garis-Baris Besar Haluan Negara (GBHN) sempat beberapa kali dicetuskan, utamanya dalam lima tahun terakhir ini. Kini, MPR kembali gencar mengusulkan revitalisasi GBHN melalui reformulasi haluan negara dalam bentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Keberadaan PPHN ini digadang-gadangkan mampu menciptakan kesatuan pembangunan yang terarah dan sesuai dengan visi bangsa Indonesia.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo, bahwa Indonesia memerlukan haluan atau blueprint jangka panjang yang berisi visi negara guna mewujudkan capaian Indonesia dalam 50 hingga 100 tahun ke depan. Adapun guna mewujudkan revitalisasi haluan negara tersebut, pimpinan MPR saat ini mengusulkan amandemen terbatas UUD 1945 yang akan berisi kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN.
Perlu diketahui bahwa sebelum perubahan UUD 1945, bentuk haluan negara dirumuskan dalam GBHN yang merupakan produk MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Namun, pasca perubahan ketiga UUD 1945, telah tejadi perubahan struktur ketatanegaraan di mana MPR tidak lagi berfungsi sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga MPR tidak berwenang untuk menetapkan GBHN.
Perubahan kewenangan MPR ini kemudian berimplikasi pada perubahan kedudukan Presiden sebagai mandataris MPR. Jika sebelumnya Presiden dipilih oleh MPR dan harus menjalankan GBHN yang ditetapkan oleh MPR, kini Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, sebab Presiden dipilih dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Sebagai pengganti GBHN, sejak 2004 lalu telah ditetapkan sistem perencanaan pembangunan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN). Sistem perencanaan pembangunan ini membagi rencana pembangunan pemerintah menjadi: Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk periode 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menegah (RPJMN) untuk periode 5 tahun, serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk periode satu tahun. Adapun di tingkat daerah juga telah disusun rencana pembangunan serupa, di mana rencana pembangunan daerah juga harus mengacu pada rencana pembangunan nasional. Keberadaan UU SPPN ini telah memberi ruang yang lebih besar kepada Presiden untuk merumuskan rencana pembangunan. Lantas, dengan berlakunya UU SPPN ini apakah keberadaan PPHN masih diperlukan?
PPHN VS SPPN
Sebelum merealisasikan revitalisasi haluan negara, kiranya perlu untuk membandingkan dan meninjau kembali sistem perencanaan pembangunan yang ada saat ini untuk mengetahui urgensi PPHN. Arah pembangunan Indonesia saat ini dirumuskan melalui UU SPPN yang menjadi payung hukum pembentukan dokumen perencanaan. Adapun untuk perencanaan jangka panjang, hal ini dirumuskan melalui RPJP untuk kurun waktu 20 tahun sebagaimana yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional.
RPJP Nasional menjadi induk bagi setiap dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah dan jangka tahunan baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam hal ini, Kementerian Perencanaan Pembangunan/Bappenas akan menyiapkan rancangan awal RPJP yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Indonesia sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Rancangan awal dari RPJPN tersebut kemudian akan dikonsolidasikan melalui Musyawah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang diikuti oleh unsur penyelenggara negara dengan mengikutsertakan masyarakat. Selanjutnya, RPJP akan ditetapkan dalam bentuk undang-undang yang pembahasannya melibatkan Presiden sebagai lembaga eksekutif dan juga DPR sebagai lembaga legislatif.
Pendekatan dalam penyusunan RPJP menggunakan pendekatan teknokratik, partisipatif, top up, serta bottom up, sementara jika dibandingkan dengan PPHN yang akan ditetapkan melalui TAP MPR, hal ini berarti PPHN hanya akan bersifat top down tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. PPHN murni hanya akan menggambarkan keinginan MPR semata.
Penilaian terhadap keberhasilan Presiden dalam menjalankan PPHN juga akan menjadi kewenangan MPR, yang mana hal ini sangat bersifat politis. Terlebih, dengan adanya usulan penambahan Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur bahwa DPR dapat menolak RAPBN yang diajukan Presiden apabila dinilai bertentangan dengan PPHN. Sekalipun disebutkan bahwa MPR tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan Presiden secara langsung, tetapi hal ini telah memberi kewenangan besar kepada MPR, dimana Presiden secara tidak langsung akan menjadi mandataris MPR. Hal ini berpotensi mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang mana merupakan anomali dalam sistem presidensial. Presiden yang dipilih oleh rakyat seharusnya bertanggung jawab langsung kepada rakyat atas visi misi dan program yang dirumuskan dalam dokumen perencanaan jangka menengah (RPJMN).
Jika RPJMN kemudian dikhawatirkan hanya berupa visi misi Presiden belaka, sesungguhnya RPJMN dan RKP juga dirumuskan dengan pendekatan partisipatif, yakni melalui Musrenbang. Terhadap rancangan awal RPJMN, hal ini juga dirumuskan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan berpedoman pada RPJP. Apabila Presiden terpilih kemudian bukan merupakan petahana, maka sebenarnya visi misi Presiden tersebut tidak dapat bertentangan dengan RPJP, sebab Bappenas telah menyediakan rancangan teknokratik RPJMN yang akan disampaikan kepada setiap calon Presiden agar kelak visi misi Presiden searah dengan RPJP. Begitu juga dengan rancangan pembangunan daerah yang telah disiapkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang tidak boleh bertentangan dengan arah pembangunan pusat.
Hal lain yang tak kalah penting pada perbandingan antara PPHN dengan SPPN yakni adanya mekanisme pengendalian dan evaluasi. Berdasarkan UU SPPN, perencanaan pembangunan terdiri atas empat tahapan, yakni: penyusunan, penetapan, pengendalian, serta evaluasi. Adapun terhadap setiap dokumen perencanaan, termasuk RPJP juga dilakukan mekanisme evaluasi. Hasil evaluasi inilah yang menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan selanjutnya.
Jika PPHN disebut akan memberi haluan yang berisi tujuan dan arah pembangunan negara yang baku, maka hal ini rasanya tidak akan menjadi solusi bagi sinkronisasi dan keberlanjutan pembangunan. Terlebih, bentuk PPHN disinyalir akan mengadopsi model GBHN yang mana tidak akan ada rumusan tujuan yang spesifik. Sementara tujuan bernegara secara umum telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan ini menjadi landasan dalam penyusunan RPJP.
Mengacu pada penjabaran tersebut, dapat dikatakan, bahwa penambahan kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN melalui amandemen terbatas UUD 1945 tidak memiliki urgensi. Perubahan atau amandemen UUD 1945 bahwasanya juga memerlukan argumentasi yuridis dan filosofis yang kuat, serta mencerminkan kebutuhan negara, sedangkan PPHN tidak memiliki dasar kebutuhan yang kuat. Bahkan, berdasarkan hasil survei yang dirilis oleh Lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), hanya 10 persen masyarakat yang menyetujui pembentukan PPHN, sementara 81 persen menghendaki Presiden bekerja sesuai dengan visi misinya. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada urgensi dan kebutuhan untuk menghadirkan PPHN. Terlebih, keberadaan PPHN juga sudah tidak relevan dengan kondisi ketatanegaraan saat ini.
Penyempurnaan Sistem
Meskipun keberadaan SPPN lebih relevan dan demokratis, namun bukan berarti sistem perencanaan yang ada saat ini tidak memerlukan penyempurnaan. Beberapa kelemahan dalam sistem perencaaan pembangunan memerlukan perbaikan guna memastikan keberlanjutan pembangunan serta konsistensi pembangunan antar pusat dan daerah. Setidaknya, terdapat tiga usulan perbaikan sistem perencanaan pembangunan ke depan.
Pertama, keberadaan UU SPPN perlu untuk segera direvisi. Saat ini, UU SPPN telah masuk dalam Prolegnas jangka menengah, namun belum menjadi Prolegnas prioritas. UU SPPN diharapkan dapat menjadi Prolegnas prioritas tahun 2022 agar dapat berlaku sebelum dilakukan penyusunan RPJP mendatang. UU SPPN harus dapat menjamin terciptanya keberlanjutan pembangunan dan sinkronisasi dokumen perencanaan antar pusat dan daerah. Sebagai peraturan perundang-undangan yang berisi norma primer dan sekunder, perubahan UU SPPN diharapkan juga dapat mengatur sanksi apabila dokumen perencanaan daerah tidak sesuai dengan dokumen perencanaan pusat. Selain itu, UU SPPN perlu menyesuaikan dengan dinamika perencanaan dan penganggaran sebagaimana yang saat ini telah diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran dan Pembangunan Nasional agar setiap penganggaran pada program pemerintah didasarkan pada perencanaan dan kinerja yang matang.
Kedua, keberadaan RPJMN saat ini ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres), dalam hal ini kontrol Presiden terhadap dokumen perencanaan tersebut sangat besar, yang mana Perpres tersebut sewaktu-waktu dapat dirubah oleh Presiden. Untuk itu, formula RPJMN ke depannya dapat dirumuskan melalui Undang-Undang yang melibatkan DPR dalam pembahasannya. Hal ini juga dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum. Ketiga, perlu adanya penguatan mekanisme evaluasi dan partisipasi masyarakat. Mekanisme Musrenbang yang ada saat ini diharapkan tidak hanya sekadar formalitas, melainkan harus benar-benar melibatkan masyarakat yang memiliki kepentingan dan terdampak langsung dari adanya usulan program pemerintah. Terkait dengan evaluasi, diharapkan Bappenas tidak hanya menilai capaian indikator dari suatu program, melainkan juga menganalisis dan mengevaluasi penyebab tidak tercapainya program tersebut, sehingga dapat dirumuskan formula perbaikan ke depannya.
Keempat, melakukan penyederhanaan dokumen perencanaan daerah. Saat ini dokumen perencanaan daerah terdiri atas RPJPD, RPJMD, dan RKPD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Banyaknya dokumen tersebut membuat sinkronisasi dan harmonisasi yang lebih sulit. Untuk itu, diperlukan penyederhanaan dokumen perencanaan berupa penghapusan RPJPD kabupaten, di mana dokumen perencanaan daerah jangka panjang sebaiknya hanya dicantumkan dalam RPJPD provinsi yang memuat arah pembangunan daerah secara umum, sementara arah pembangunan secara lebih teknis dirumuskan melalui RPJMD dan RKPD. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keseragaman dan harmonisasi arah pembangunan Indonesia sebagai negara kesatuan. Sebab, harmonisasi dan sinkonisasi merupakan hal yang terpenting dalam mencapai arah pembangunan.
Dengan begitu, hal yang terpenting dan lebih mendesak dilakukan saat ini adalah penyempurnaan sistem guna mewujudkan arah pembangunan yang lebih sinkron dan bersinergi dibanding dengan merumuskan haluan negara baru yang berpotensi mengubah sistem pemerintahan Indonesia.