FORCE MAJEURE DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
3 min readFORCE MAJEURE PADA SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Force majeure dalam bahasa Perancis: Kekuasaan lebih besar, Overmacht atau Force majeure (R. Subekti), Force majeure dalam KBBI: Maha Kuasa (hakikat Tuhan) atau sewenang-wenang. Dalam artikel ini, penulis menggunakan istilah “force majeure” seperti yang dikenal di kalangan hukum.
Mengenai perjanjian atau kontrak, tidak ada ketentuan khusus dalam undang-undangnya, namun bersumber dari beberapa pasal KUHPerdata. Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata mengatur tentang force majeure. Pasal ini merupakan pembatasan penerapan asas pacta sunt servanda (Pasal 1338 KUHPerdata). Selain kedua ketentuan tersebut, konsep force majeure juga dapat ditemukan pada Pasal 1444 dan 1445 KUH Perdata.
Konsep force majeure juga mengacu pada:
Pasal 1444 KUHPerdata:
1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang. Sehingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada. Maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga. Perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.
3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu.
4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang. Hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.
Pasal 1445 KUHPerdata:
Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.
Dari pasal-pasal KUHPerdata di atas, disimpulkan bahwa force majeure: Keadaan yang melepaskan seseorang atau suatu pihak yang mempunyai kewajiban untuk dipenuhinya berdasarkan suatu perikatan (yaitu si berutang atau debitur), yang tidak atau tidak dapat memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk memberi ganti rugi, biaya dan bunga, dan/atau dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya tersebut.
Force majeure dalam peraturan perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yang ada yaitu Undang-Undang Jasa Konstruksi dan Keputusan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah juga memberikan makna terhadap konsep force majeure dalam kaitannya dengan kontrak.
Force majeure dalam yurisprudensi dan putusan pengadilan
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, konsep force majeure diakui, disebutkan, dipertimbangkan dan diterapkan pada fakta perkara oleh Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya. Namun, tidak banyak putusan pengadilan yang menjelaskan force majeure yang dipublikasikan. keadaan kahar Adanya force majeure dalam putusan pengadilan menunjukkan bahwa Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya menerapkan konsep force majeure sesuai dengan ketentuan undang-undang dan tidak memberikan penafsiran yang lebih luas.
Force majeure dalam Sistem Hukum Indonesia
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa force majeure mengacu pada keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perjanjian tidak dapat melaksanakan seluruh atau sebagian kewajibannya yang telah disepakati karena peristiwa-peristiwa di luar kendalinya. Terjadi keadaan yang diketahui atau tidak terduga.
Dalam mengadakan suatu perjanjian, pihak yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya tidak dapat dipersalahkan dan tidak menanggung resiko. Konsep force majeure dapat ditemukan pada: Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, serta lihat Pasal 1444 dan 1445 KUH Perdata.
Dalam proses perkembangannya, force majeure dibedakan menjadi banyak jenis menurut standar yang berbeda-beda, yaitu berdasarkan: sebab, sifat, objek, subjek, ruang lingkup, standar lain dalam hukum kontrak. Terjadinya peristiwa force majeure akan mempengaruhi keikutsertaan dan risiko yang dihadapi kedua belah pihak dalam kontrak.
Secara garis besar akibat hukum force majeure adalah: Adanya peristiwa force majeure merugikan para pihak yang mengadakan perjanjian, dan pihak yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya tidak dinyatakan wanprestasi; debitur tidak wajib membayar ganti rugi. dan dalam akad timbal balik, kreditur tidak dapat meminta pembatalan karena kewajibannya dianggap tidak sah. Dampak force majeure terhadap risiko yang terlibat dan mengalami perkembangan. Force majeure memerlukan integritas.