WACANA AMANDEMEN KELIMA UUD 1945: DARI PROBLEMA MENUJU PANASEA SEBENARNYA
7 min readWACANA AMANDEMEN KELIMA UUD 1945: DARI PROBLEMA MENUJU PANASEA SEBENARNYA – Wacana amandemen kelima UUD 1945 kembali memanaskan ruang publik. Agaknya wacana ini memang sengaja terus dipelihara agar masyarakat tidak melupakan eksistensi MPR. Sebab yang selalu dielu-elukan, MPR merupakan lembaga yang dihasilkan dari pemikiran murni bangsa Indonesia. Kendati penulis menganggap idenya tidak terlepas dari konsep joint session milik Amerika Serikat, hanya saja bentuk dan implementasinya yang dikreasikan. Harus diakui, walau telah empat kali diamandemen UUD 1945 masih menyisakan berbagai permasalahan yang berakibat pada ketidakpuasan publik (Mahfud, 2010).
Terdapat begitu banyak ambiguitas substansi pengaturan yang termuat di dalam UUD 1945. Misalnya saja menyoal sistem perwakilan yang dianut. Konstruksi UUD 1945 menempatkan sistem lembaga perwakilan Indonesia pada area abu-abu. Tidak jelas apakah bicameral, unicameral, ataukah tricameral, bahkan dianggap tidak ketiganya (Kaelan, 2017). Belum lagi bicara tentang sistem pemerintahan yang disepakati berupa presidensial, namun implementasinya menunjukkan terdapat begitu banyak praktik parlementarian yang tidak sejalan dengan kesepakatan dasar tersebut.
Mengingat berbagai problem tersebut, seharusnya ide amandemen tidak lagi bersifat parsial, tetapi menyeluruh. Paradigma tambal sulam terhadap konstitusi harus dihindari, terlebih dengan posisinya sebagai dasar hukum tertinggi. Bukan berarti penulis menafikan perbaikan. Dengan kata lain, amandemen itu sangat diperlukan. Namun, ke mana arah perubahannya harus dipertimbangkan. Semestinya perubahan itu bergerak maju menuju tatanan ketatanegaraan yang mapan dan jelas, bukan sebaliknya.
MPR Heavy
Mungkin istilah ini terdengar asing di telinga. Sebab, sejak dulu, istilah yang seliweran di berbagai perbincangan akademis maupun media adalah eksekutif heavy dan legislatif heavy. Akan tetapi kiranya dalam konteks mengubah UUD, kedua istilah itu tidak dapat dipakai. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945. Secara eksplisit-limitatif, pasal a quo memberikan kewenangan eksklusif untuk mengubah UUD 1945 hanya pada MPR.
Meski banyak teori dan istilah untuk menyebut perubahan UUD 1945. Tapi secara prosedur, ada tiga yang dikenal secara umum. Itulah yang dikatakan K.C. Wheare (1996) sebagai amandemen formal, kebiasaan ketatanegaraan, dan penafsiran pengadilan. Berpijak dari pandangan ini, dapat diketahui, perubahan yang disebut Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 adalah contoh amandemen formal. Mudahnya, amandemen formal itu dimaknai cara perubahan yang diatur oleh UUD itu sendiri (Jimly, 2006).
Mengulik pasal per pasal, prosedur formal amandemen UUD 1945 dapat ditemui dalam Pasal 37. Secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut: ayat (1) menyebut usul perubahan diajukan 1/3 anggota MPR. Lalu ayat (2) ditegaskan, usul tersebut diajukan tertulis dengan menunjukkan bagian pasal yang diubah beserta alasannya. Kemudian ayat (3) menentukan, sidang untuk mengubah UUD dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR. Selanjutnya pada ayat (4), putusan atas perubahan disetujui sekurang-kurangnya oleh 50 persen plus satu dari seluruh anggota MPR.
Inilah cerminan MPR heavy dalam prosedur perubahan UUD 1945. Sederhananya dipahami sebagai dominasi MPR dalam melakukan amandemen. Atas pernyataan ini, bisa jadi dengan segera muncul kritik, “itukan konsekuensi logis-yuridis dari Pasal 3 ayat (1) UUD 1945”. Argumen demikian tentu wajar. Namun perlu diingat, sejak amandemen ketiga, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Kedaulatan rakyat tidak lagi dijelmakan ke dalam MPR. Tetapi didistribusikan kepada seluruh penyelenggara negara melalui diksi “dilaksanakan menurut UUD” bandingkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.
Menganalogikannya dengan pembuatan UU, meski konteksnya berbeda tetapi konsepsinya sama. UUD 1945 menentukan bahwa pembuatan UU itu diwakilkan kepada DPR bersama Presiden. Kendati demikian, proses pembuatannya tetap mengharuskan partisipasi rakyat di dalamnya. Apabila diabaikan, itulah yang disebut pembangkangan prosedur pembuatan hukum (cacat formil).
Dengan analogi ini, kritik yang muncul adalah kapan dan bagaimana keterlibatan rakyat dalam proses amandemen UUD. Pertanyaan yang lebih mendalam kiranya, sejauh mana rakyat terlibat dalam proses dan perumusan pasal-pasal perubahan? Naasnya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat ditemukan dalam UUD 1945. Secara substantif, Pasal 37 tidak memberi ruang dan peluang bagi rakyat untuk terlibat. Contohnya saja terhadap penentuan isi UUD yang akan diubah. Sampai detik inipun, rakyat masih meraba dan menerka apa yang akan diubah.
Sebagai aturan main berbangsa dan bernegara, sudah semestinya rakyat dilibatkan. Rakyat harus ikut menentukan ke mana arah rel yang akan membawa gerbong bernama NKRI itu menuju. Paling tidak untuk menjaga agar gerbong tadi tidak lagi keluar dari relnya menjadi agregasi kepentingan MPR semata.
Mendobrak Ego MPR
Isu sentral dari amandemen kelima adalah mengembalikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sesungguhnya isu lama, hanya sebutannya saja yang baru, yakni Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Alasan yang selalu digaungkan tetap sama, agar pembangunan nasional menjadi terarah, padu, dan sistematis dalam satu haluan.
Ketimbang alasan di atas, penulis lebih cenderung menilai munculnya ide ini sebagai akumulasi kejengahan MPR. Seperti diketahui, sejak amandemen ketiga, MPR layaknya macan ompong. Ia tidak lagi memiliki kewenangan yang berarti selain mengubah UUD. Sejauh ini, agenda penting yang rutin dilakukan hanya melantik presiden dan wakil presiden terpilih. Di samping itu melakukan sidang tahunan untuk mendengar laporan presiden selayaknya forum seremonial negara.
Dengan status MPR yang kini sekadar lembaga tinggi negara, ide mengadopsi ulang GBHN patut dipertanyakan. Dikarenakan sejarah mencatat, pelaksanaan GBHN menempatkan Presiden sebagai mandataris MPR. Faktanya hari ini, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR tetapi langsung kepada rakyat. Oleh karenanya, ide itu sangat tidak realistis di saat sekarang.
Boleh jadi, ide ini tidak lebih sebagai gambaran egoisme MPR. Ego untuk kembali memonopoli pembangunan nasional melalui dokumen saktinya, GBHN. Tampaknya rindu menggebu pada GBHN telah membuat MPR luput, bahwa problem kita tidak pada persoalan teknis berupa dokumen haluan negara tetapi lebih pada persoalan aktor, politik, dan yuridis. Acapkali pembangunan nasional memposisikan kepentingan politis determinan terhadap kebutuhan riil masyarakat. Tidak sedikit pula aktor yang membiarkan pembangunan berakhir pada tumpukan dokumen tanpa action. Sebab, anggaran untuk melakukan pembangunan telah dilahap untuk memuaskan dahaga keserakahan.
Adapun faktor yuridis dapat dilihat pada banyaknya aturan derivatif yang menegasikan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Misalnya dalam kaitan linearitas pembangunan pusat dan daerah. Kasus pembatalan ribuan Perda bermasalah meski dipersoalkan konstitusionalitasnya dapat dijadikan refleksi adanya ketidakselarasan dasar yuridis roadmap pembangunan nasional. Maka prioritasnya segera melakukan sinkronisasi dan harmonisasi aturan, agar substansi dan implementasi pembangunan menjadi searah dan seirama. Dengan begitu, dapat dikatakan pula, menjadikan PPHN sebagai panasea ialah imajinasi yang dipaksakan karena tidak tepat pada sasaran.
Mencari Panasea Sebenarnya
Untuk menuju pada pencarian panasea (obat mujarab) yang sebenarnya, perlu kiranya menggali pemikiran Jurgen Habermas. Pandangannya relevan untuk menjadi dasar kritik terhadap model pembentukan hukum dewasa ini. Ia menentang pola pembentukan hukum yang meniadakan keterlibatan rakyat, baik secara formal maupun informal. Itulah mengapa, ia menekankan perlu dikembangkannya demokrasi yang deliberatif. Setiap aturan yang dibentuk harus menyediakan ruang publik untuk mengakomodir dialog dan diskursus rasional antara si pembuat kebijakan dengan orang yang terdampak kebijakan.
Dalam kenyataan sosial-geografis di Indonesia, harus diamini, pandangan Habermas masih sulit diterapkan secara konsekuen khususnya ketika itu dimaknai sebagai demokrasi langsung ala Athena di Yunani, dimana rakyat bertemu dengan pembentuk hukum dalam satu forum bersama. Sebab, apabila rakyat diartikan sebagai penduduk yang berjumlah 270 juta jiwa (BPS, 2020), dapat dipastikan ruang publik itu mustahil dilakukan.
Kendati demikian, tidak pula dapat menjadi justifikasi untuk menyampingkan ruang publik dalam proses amandemen atau MPR sebatas memilah keterlibatan oleh orang atau kelompok tertentu. Kemudian, keterlibatan itu dianggap sudah cukup “mewakili rakyat”—mengikuti model DPR dan Presiden ketika menggodok sebuah UU. Penulis menganggap, dalam konteks amandemen UUD 1945, itu tidak lebih dari partisipasi palsu. Meminjam kritik Lively (1975), yang menjadi pertanyaan apakah orang-orang tersebut kualifaid untuk mewakili rakyat? Lalu apakah itu proporsional dengan jumlah penduduk yang ada di Indonesia?
Maka dari sini, kita dapat berpaling kepada tawaran Habermas lainnya yaitu ruang publik dalam arti informal. Tidak ada salahnya memaknai keterlibatan itu sebagai konvergensi antara demokrasi dan perkembangan teknologi. Misalnya dengan memberikan ruang publik melalui platform tertentu yang dapat mengagregasi opini publik. Esensinya adalah rakyat secara luas dapat mengetahui pasal apa yang diubah, bagaimana perubahannya, serta ada jaminan pastisipasi rakyat untuk memberikan pandangannya terhadap usulan MPR. Problemnya kemudian, sejauh mana hasil opini publik itu diakui dan mengikat terhadap keputusan MPR atau sarkasnya, sejauh mana MPR mau menggunakan rasionalitas publik dalam mengamandemen UUD 1945. Artinya apakah MPR mau mengikuti kehendak rakyatnya, jika mayoritas menolak amandemen atau sekadar tidak setuju dengan rumusan pasal perubahan.
Sebagai jalan tengah, kita perlu melihat mundur ke tahun 1980an. Di mana masa itu terdapat pengaturan terkait referendum seperti termuat dalam Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1983 yang ditindaklanjuti dengan UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum. Ketentuan ini memberi pengakuan secara yuridis, bahwa kehendak MPR untuk mengamandemen UUD harus terlebih dahulu dimintakan pendapat rakyat, setuju atau tidaknya. Merujuk Pasal 3 ayat (1) UU a quo, referendum itu dilakukan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, artinya tanpa perwakilan.
Terlepas dari kenyataan normatif, bahwa kedua aturan itu menjadi dalih bagi Orde Baru untuk mensakralkan UUD 1945. Akan tetapi adanya referendum adalah ejawantah dari kedaulatan rakyat pada proses amandemen UUD. Hal ini senada dengan yang ditegaskan Fishkin (2009), bingkai demokrasi memberikan suara dan ruang bagi masyarakat untuk turut menemukan solusi atas masalah yang dihadapi. Pengakuan itu merupakan esensi demokrasi karena menjadi jaminan terhadap hak fundamental warga negara sebagai individu untuk ikut menentukan desain aturan hukum tertingginya yakni UUD 1945 sesuai dengan kebutuhan riil. Dalam kerangka pemikiran Habermas, inilah yang disebut meniadakan keadaan splendid isolation, suasana rahasia dan tertutupnya pembuatan hukum dari tahapan kritis publik.
Lalu dapatkah referendum dilakukan ketika dasar yuridisnya telah dicabut? Apabila menggunakan asas legalitas sebagai pijakan, tentu tidak dimungkinkan karena dipandang tidak memiliki dasar pelaksanaan. Tetapi secara teoritis, praktik tersebut dimungkinkan dengan merujuk pada pandangan K.C. Wheare, mengatakan terdapat sebuah praktik yang itu tidak bertentangan dengan hukum konstitusi. Praktik tersebut bersifat melengkapi atau bahkan memodifikasi jalannya konstitusi. Itulah yang kemudian disebut sebagai konvensi ketatanegaraan. Dengan begitu, yang menjadi konvensi itu nantinya adalah adanya ruang publik dalam proses amandemen.
Biarlah secara eksklusif dan rigid, usulan perubahan dan rumusan pasal perubahannya menjadi kewenangan MPR. Namun sebelum masuk pada tahap pembahasan dan pengambilan keputusan, ruang publik itu harus dibuka. Jelas, hal ini akan memerlukan waktu yang relatif lebih lama, tetapi ini pula konsekuensi dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 pasca perubahan yang tidak lagi menempatkan MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, untuk sampai pada panasea yang sesungguhnya, dibutuhkan kebesaran hati dari MPR untuk menerima konsekuensi pasal tersebut.
Bagi penulis, hal itu seperti menanyakan, apakah MPR melihat esensi “kedaulatan tertinggi di tangan rakyat” dalam artian demokrasi yang substansial, atau sebaliknya, mereduksinya dalam terma yang prosedural. Jika MPR masih bersikeras pada Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 secara absolut dan menolak kebutuhan nyata di lapangan, atau bersembunyi di balik kalimat ampuhnya, “kami diisi oleh representatif rakyat, maka kami sudah cukup untuk mewakili rakyat,” dapat dipastikan ide-ide untuk membuka ruang publik akan terus menemui jalan buntu. Ide itu akan tetap pada tempatnya, entah itu terpajang dalam sebuah laman atau tersusun rapi pada lembaran kertas. Akhirnya, bangsa ini akan mengalami disorientasi demokrasi. Alih-alih mengarah pada demokrasi deliberatif, malah menuju pada demokrasi facade tampak demokratis di luar namun tidak di dalamnya.